265. Devil In A Quiet Place

CONJURING DEVIL MADE ME DO IT

Siluet seorang pria berjas-bertopi koboi menghadap rumah besar mengingatkan kita dengan poster ikonik film The Exorcist tahun 73. Pria itu Romo Gordon, yang diundang untuk merukiyah anak keluarga Glatzel, si David yang masih kecil.

Adegan pembuka dimuat dengan dramatiknya proses eksorsisme antara kekuatan gelap dan putih. Sedikit lebay sih editing dan adegannya jatuhnya pusing apalagi vision yang dialami Loraine. Mustinya bagian itu bisa dipisah di lain adegan.
"Jika di pengadilan kita bersumpah atas nama Tuhan, memercayai eksistensi-Nya, mengapa tidak kita memercayakan setan?"

Kata Lorraine pada pengacara Arne Johnson. Arne termasuk yang hadir saat eksorsisme David, dia pacarnya Debbie, mbak David. Arne disantet, lalu membunuh majikannya, Bruno dengan 22 tusukan. Pola 22 tusukan juga membawa pasutri Warren pada sengkarut investigasi berbau film kriminal. Lucu saat Pak Kapoldanya tes kemampuan Lorraine pisau mana yang dipakai menusuk Katie Lincoln (kasus tewas dengan 22 tusukan). 

Konsep Devil Made Me Do It memang sangat beda daripada sekadar teror rumah hantu seperti film-film (universe) Conjuring sebelumnya. Bukan tentang manusia lawan iblis, manusia lawan manusia di sini. Musuh di sini sedang mengejek trinitas suci dengan mencari tiga tumbal untuk melengkapi ritualnya.

Atmosfer sekuel kedua ini memang anyep. Mengingat tidak ada pengalaman berarti manusia melawan gejala supranatural dengan setan sebagai musuh langsungnya. Kesannya melihat film kriminal dengan setan sebagai biang keroknya. 

Tidak ada makhluk halus yang signifikan hadir di sekuel kedua Conjuring, kecuali mayat hidup raksasa yang nongol dua kali. Makanya Michael Chaves yang megang kursi pengarahan seperti nekad menekankan ilmu hitam antara manusia dengan manusia. Barangkali manusia itu jasad bak sponge yang mampu menyerap pengaruh apa pun (bisa gak sih setan kerasukan manusia?). Dan judul Devil Made Me Do It nggak musti selalu entitas makhluk halus macam setan dan iblis. Devil mungkin berarti metafora. Aku melihat usaha "mematangkan" cerita melalui, tidak pakai jumpscare setan, audio seram. 

Sejoli Ed dan Lorraine juga semakin so sweet apalagi Ed punya masalah jantung. Masih aja mereka kejar setoran buat bantu orang. Mau gimana, Ed juga diincer sih sama villain-nya. 

"Aku nggak mau pulang, Romo. Rumahku di sini bersama dia."




A QUIET PLACE PART II

Pada film pertamanya kita dibuat jatuh cinta akan pengalaman sinematik bioskop. Ikutan hening. Penonton kamseupay yang biasa nyalain smartphone di bioskop dan suka cincong ikutan diam, nahan napas, berhenti ngunyah berondong supaya ga dibantai monster-alien yang sensitif suara.

Sekuel berlanjut usai kematian kepala keluarga, Lee Abbot, yang mengorbankan diri demi keluarganya, menyisakan trauma dan kesedihan mendalam bagi istri dan anak-anaknya.

Di Day 1 sebagai pembuka sekuel, Marcus lagi tanding bisbol yang diadakan di lapangan kecamatan berhadiah sepeda cantik. Marcus terlihat lebih besar dibanding film pertama padahal ini hari pertama. Noah Jupe masih remaja dan cepat membesar karena rajin olahraga dan minum milo. Regan, mbaknya yang tuli, terlihat sama namun sudah bisa bicara tipis-tipis.

Evelyn sang ibu resmi menjanda, boyong tiga anaknya ke gudang tua yang rupanya dihuni Emmet tetangga dan sohib Lee. Apesnya si Marcus injek ranjau, bengok-bengok kesakitan. Iyalah. Siap-siap dicabik alien. Aku sebel sih kenapa aliennya cuma mencabik nggak makan manusia? Apa mereka vegan?

Sekuel kali ini memang tak terlalu buruk namun nggak seunik film pertamanya. Memang kalau naskah gak dikembangkan jatuhnya membosankan. Namun sesuatu yang minim dan personal itu agak meluntur di sini. Kehadiran aliennya tetap bikin berdebar tapi ga bikin aku jumbul dari kursi seperti adegan film pertamanya saat bertemu orang gila yang teriak di hutan dan adegan di ladang jagung.

Dari Regan kita belajar cara mendengarkan (menyimak). Dengan keterbatasannya dia mendengar lagu di radio yakni Beyond the Sea pakai alat bantu dengarnya. Memang sekuelnya lebih ke highlight karakter Emmet yang pesimistis dan Regan yang optimistis. Regan mendengar lewat isyarat, lewat isyarat lagu juga, juga mendengarkan keberanian hatinya.

Regan menggambarkan karakter orang Barat yang avonturis dan berani pertimbangkan risiko (misal banyak video orang Barat menaklukkan Guinness Record meniti tali di dua lereng). Dia mempertanyakan definisi home pada Emmet. Karena sebenarnya toh mereka juga akan mati di daratan atau mati dalam perjalanan ke pulau.

Regan seperti antitesis alien. Satunya kurang mendengar, satunya teramat sensitif. Dan mereka yang di tengah tinggal memercayakannya.

Komentar

Postingan Populer