246. Sepayung Berdua [Selamat Hari Ibu]

Sekitar medio 2003, hujan masih menderas kendati telah terkuras sepanjang lelap malam. Fajar itu, aku siap berangkat ke sekolah. Langit tak henti mencurahkan air rahmat.

"Ayo Mama antar." Mamaku menawarkan jasa "ojek payung" pada putranya. Maklum, semasa itu kami hanya punya satu buah payung. Mau tak mau, beliau harus mengantarkan bujangnya yang imut ini ke sekolahnya yang lebih kurang berjarak 300 m. Selanjutnya, payung lebar warna silver bergambar simbol bank itu bisa dipakai mamaku untuk pergi ke tempat kerjanya.

"Sepatunya aku masukin ke plastik ya." Supaya sepatu hitamku tidak kuyup tersapu air hujan ataupun air genangan maka kubenamkan di plastik kresek.

Ibuku memekarkan kuncup rangka payung. Kami siap menantang hujan. Menghalau gerombolan bulir air. Demi menyongsong gemilangnya masa depan. Apa pun aral melintang, aku bertekad menuntut ilmu meski badai menderu dari Pasifik. Karena badai pasti berlalu dihadang angin muson barat dari jiwa-jiwa yang penuh semangat.
"Dingin ya, mah. Hujan dari semalam belum juga reda." Aku berbicara dengan mamaku yang berjalan di belakangku. Dia memegang gagang payung menaungi kami berdua dalam kepungan rintik deras hujan.

Baru seperempat jarak, tiba-tiba tubuhku beserta seragam putih biruku tersiram hujan. Tentu aku bingung. Gerangan apa yang terjadi? Mungkinkah hujan badai benar-benar muncul sehingga bertempias ke arahku. Rupanya tidak! Tatkala kepalaku mendongak ke atas, benar saja aku langsung menyambut hamburan air dari angkasa kelabu. Tiada lengkung payung di atas kepalaku. Di mana payung yang digenggam mama?

Aku menoleh ke belakang. Ternyata... Mamaku sudah tergelincir lantaran jalan yang kami lalui terbuat dari adonan pasir dan semen yang terlampau halus. Andaikata aku seorang perempuan, pasti akan menangis pilu meratapi keterjatuhan ibuku tercinta. Untungnya aku adalah lelaki yang tegar dan kuat. Sekuat Mamaku yang sanggup bangkit tanpa air mata dan tanpa uluran tangan dariku.

"Ayo dik, ikut saya." Seorang lelaki 40-an tahun menawari boncengan di sepeda motornya. Aku tak kenal tentang dia. Aku takut diculik.

"Ayo dik, kasihan Ibumu. Nanti kamu juga terlambat," ajaknya lagi.

Aku terhipnosis. Tak mampu menampik. Selekasnya kududuk di jok belakang. Sayap jas hujannya yang panjang bak jubah kardinal Vatikan tergelar menutupi bagian tubuhku. Hujan masih saja berpesta di langit. Menggigilkan segala indera di raga.
***

Setibanya di rumah, aku ingin cepat-cepat menemui mama. Beliau tersenyum, pun bibirku. Kemudian dia menghidangkan makanan untuk putranya. Sepiring nasi putih-pulen yang masih mengepul; semangkok bayam hijau; dan sepiring kecil teri kacang balado yang aromanya sungguh memikat.

Usai bersantap, kutanya pada dia. Apakah ia terluka perihal terpeleset pagi tadi. Rupanya tidak. Hanya sakit ringan di bagian bokong. Lantas ia pun tertawa geli meratapi nasibnya sendiri. Tawa itu tertular padaku. Aku terpingkal-pingkal. Padahal di kelas hatiku masygul membayangkan balada sepayung berdua yang amat tragis nan dramatis. Ha ha ha…

Mama I love you, Mama I care
Mama I love you, Mama my friend


Jakarta, 2011, berdasarkan cerita pahit yang nyata dan pernah dibukukan di antologi indie Memory In Love (Seruni Creative).

Komentar

Postingan Populer