243. A Green Field of Shaun and John

Resensi film The Green Mile (1989)

The Green Mile hampir memiliki semua unsur sebuah film. Dari slow burn ala film Indie jaman now, dari unsur plot twist yang dihambakan kaum newbie penikmat thriller, cerita mukjizat keilahian yang mistik, satire sosial terutama untuk tokoh yang sengaja dibuat kulit hitam, nepotisme di penjara sebagaimana tokoh Percy yang kerap mengadu ke omnya yang pejabat, kemanusiaan yang digugat, ranah ilmiah tentang hukuman setrum, dan lain-lain.

The Green Mile semacam plesetan dari the last mile, kurungan terakhir untuk terpidana mati. Dinamakan the last mile mungkin artinya langkah terakhir. Dan diganti green lantaran lantainya berwarna jeruk limo. 

Paul Edgegomb adalah ketua di lapas Green Mile. Agenda hariannya menerima terpidana baru, membimbing dan menenangkan mereka dari selangkah menuju maut, dan menghukum tahanan yang kelewat batas macam Wild Bill, termasuk Percy, bawahannya, yang kerap bertindak seenaknya. Selain Percy ada pegawai sipir lain: Brutus, Dean, dan Harry. Tahanan baru mereka John Coffey, lelaki Afro berbadan giant yang selalu terlihat sendu, bahkan terlalu lembut untuk orang yang telah membunuh dua gadis kecil setelah memerkosanya.

John punya kemampuan supranatural atau dia sebut sebagai mukjizat Tuhan yang dipinjamkan. Paul orang pertama yang tidak percaya kalau John sanggup membunuh dua gadis. Kesangsian Paul menular ke penonton. Lalu penonton diajak melihat keajaiban-keajaiban John dari tangannya, mulai dari menghidupkan kembali tikus mati sampai mengangkat tumor otak istri pejabat di penjara.

Dalam durasi sekitar 180 menit, kisah mengalir lancar. Kadang mengesalkan dengan polah Percy. Kadang kasihan dengan nasib terpidana. Kadang simpatik dengan John. Semua karakter bekerja prima, meski jumlahnya sedikit bahkan figuran orang-orang di penjara yang mestinya banyak terlihat dikit. Apalagi karakter sekecil Mr Jingles yang sangat bermanfaat, tikus Eduard, terpidana yang berbahasa (ibu) Perancis.

The Green Mile disadur dari novel raja thriller, horor, gotik, siapa lagi kalau bukan Stephen King. Film dari sutradara The Shawshank Redemption dan The Mist ini, termasuk satu dari 100 film yang mesti ditonton zaman ini. Ceritanya penuh perenungan. Dilema. Seperti era kegelapan sebelum kodokteran dilengkapi perangkat identifikasi DNA. Padahal Departemen Kedokteran Forensik dan Medikolegal sudah ada sejak jaman Stovia tahun 1920 di Batavia. Mungkin memang belum efektif benar di Amerika atau belum canggih atau sistem korup di Amerika tahun 1935 seperti latar di filmnya. Maksudnya si John tertangkap basah memeluk dua gadis mati berdarah di ladang ya dialah pelakunya.

Resensi A Shaun the Sheep Movie Farmageddon (2019)

Film pertamanya, Shaun the Sheep Movie, empat tahun lalu cukup sukses dan mengharukan. Paling tidak dapat skor agregat 99 % di Rotten Tomatoes dan masuk nominasi di Oscar. Serialnya juga populer di kalangan anak-anak Indonesia karena hampir tiap hari muncul di layar kaca.

Tahun ini Aardman (disalurkan Studio Canal) membuat tajuk Farmageddon, gabungan farm dan armageddon atau sesuatu mengenai luar angkasa sesuai judul film itu. Dengan tagline plesetan yang juga judul film Steven Spielberg, Close Encounters of the Third Kind, yaitu Close Encounters of the Furred Kind. Furred (berbulu) pasti merujuk ke para domba. Padahal cerita filmnya lebih dekat ke film Steven Spielberg (lagi) lain berjudul E.T. The Extra Terrestrial.

Yup, prolog dimulai dari seorang gelandangan dan anjingnya yang melihat pendaratan UFO dan aliennya. Serta merta seisi negeri gempar. Seorang pejabat di Kementerian UFOLOGI nggak tinggal diam. Dia beserta timnya memburu alien yang bersembunyi di peternakan Mister Farmer alias di ladang tempat Shaun dan keluarga merumput. Di sisi lain, alih-alih cuek seperti karakter Pak Petani di serialnya, dia malah antusias ingin membuka taman bermain tema extraterrestrial: Farmageddon, yang jadi subjudul film arahan debut duo Will Becher dan Richard Phelan. Tujuan buka taman Farmageddon adalah untuk membeli traktor yang dirusak alien Lu La.

Apabila film pertamanya tentang Shaun dkk yang menyelamatkan tuannya yang amnesia ringan dan tersesat di kota, dikejar-kejar petugas pengendali hewan, dan drama relasi keluarga yang menyentuh antara Mister Farmer dan para dombanya, di sekuelnya jadi lebih hambar selain memang punya plot klise ala E.T.. Shaun, Bitzer (anjing gembala), Timmy, dkk bertemu makhluk asing yang tersesat dengan pesawatnya dan ingin pulang tapi dihalang-halangi petugas dari kementerian ufo. Hanya itu.

Lawakannya yang tentu tanpa dialog memang kurang nendang. Karena tanpa dialog, bahkan penerjemah menganggur karena malas menerjemahkan artikel di koran, otomatis kelucuan dan aksi mereka bergantung pada gerakan dan bahasa tubuh. Sepertinya tim Aardman sedang kehabisan ide atau memang lelah. Bikin claymation memang melelahkan, butuh satu hari untuk durasi 2 detik!

Tapi aku kasih pemaafan. Aku menganggap sedang menonton standar serial tvnya yang dipanjangkan dan lumayan menyenangkan. Sayang, penontonnya sedikit dan hanya bertahan kurang dari seminggu. Tipe animasi yang sering nongol di tv memang bakal sepi penonton macam Upin Ipin Keris Siamang Tunggal.

Komentar

Postingan Populer