242. Resep Warisan Ibu [cerita pendek]

oleh Darman Su

Liana merasa menjadi perawan tua pada usia 33. Jodoh seakan jauh bagai antara kutub utara dan selatan. Toh dia menjemputnya. Dia menggenggamnya. Giliran di genggamannya, jodoh nyaris lepas. Bagaimana tidak? Orangtua kekasihnya ialah seorang chef tersohor. Itu ibarat malapetaka baginya!

"Apa kamu pandai memasak?" tanya Chef itu—sebut saja calon mertuanya—sewaktu dirinya bertandang. Suara chef tersebut menyelidik. Sorot matanya menelisik. Liana gemetar sembunyi-sembunyi.

"Bisa, Pak." Begitulah Liana berusaha menjawab dengan penuh keyakinan. Kosong pengalaman. Dia hanya bisa memasak, tetapi tidak pandai. Sadarlah dia, masakan macam apa yang akan lolos dari jerat kerongkongan sang master kuliner di hadapannya itu.

"Kalau begitu, saya ingin mencicipi masakan buatanmu."

Laksana cambuk pelecut, Liana kian kecut. Masakan jenis apa yang pantas dipersembahkan untuknya dengan rasa yang sopan serta elegan. Otaknya berputar-putar. Kecuali demi Henri, pacarnya, sudah dari tadi dia mengucapkan 'maaf saya tak bisa'.

"Ya sudah. Kamu beli saja makanan di resto. Beres!" Henri malah menawarkan taktik licik. Kumis tipisnya bergerak-gerak. Badan tegapnya condong ke Liana.
"Aku ingin jujur mendapatkanmu. Titik!"

|||

Liana telah menyusun agenda malam ini dengan rapi. Sepulang dari kantor dia mampir ke toserba membeli segala macam bahan. Mengolah semua itu di rumah lalu disajikan ke meja penguji. Loloskah dia dari "pertandingan tunggal" malam ini? Mampukah dia menjadi istri yang pandai membuai lidah suami dan mengenyangkan kantong lambungnya?

"Kamu sedang masak apa, Na?" Henri menghubunginya. Iramanya cemas.

"Aku masak piza, Mas."

Tangannya sambil menakar susu tanpa lemak, ragi kering, dan butter PAM. Matanya bolak-balik menyontek selembar resep piza yang dia cetak dari situs internet.

"Papa jam 9 sudah pulang. Siap-siap ya." Kata Henri.

Dengan cekatan, diraihnya sepertiga cangkir saus piza racikannya dan disebarkan di atas adonan roti. Tak lupa, keju mozzarella beserta topping kreasinya. Oven segera panas membara. Semembara tekad dan keyakinannya. Liana merasa bak koki matang. Matang karbitan.

Dentang jam berulang sembilan kali. Dengan gelisah dia duduk di ruang makan. Henri di sisinya. Meremas jemarinya. Memandang satu pan piza yang masih mengepulkan uap-uap. Hampir dingin. Namun sang penguji tak kunjung tampak. Kesabarannya melumer bagai keju di atas roti.

"Papamu belum selesai syuting, Mas?"
"Sabarlah."

Dia ingin makanannya segera menjerat lidah sakti Chef Arya Wiguna—itulah nama calon mertuanya. Menjuarai ujian. Mendapatkan anak bujang kesayangan. Juga mengangkat jangkar, berlayar dengan bahtera pernikahan.

"Maaf, sudah menunggu lama." Senyumnya ringan. Sang guru telah datang.

"Mama mia... piza!" Hampir terbelalak biji mata dia saat menatap lekat hidangan buatan calon menantunya. Ia terpukau.

"Silakan, Pah." Bujangnya mempersilakan. Digenggamnya pizza knife. Dirobek. Lantas dimakan bersama kelopak yang terpejam.

"Hmm...." Tersibaklah rasa makanan itu. Bola mata dia menerawang ke langit-langit, hamparan meja, dan berhenti, tertumbuk di keremangan mata Liana yang gamang.

"Bagaimana, Pak?" Si empunya makanan harap-harap pasrah. Ia mengulik liang mata kekasihnya yang dalam, hangat, dan hal-hal yang belum ia pahami dari matanya.

Makanan kayak gini sih lebih lezat beli di outletnya." Jawaban sang penguji terdengar ketus. Tak berniat memaparkan lebih terang di mana letak ketaklezatannya.

Buyarlah asanya. Dia tak layak dipersunting Henri, putra dari juru masak handal, yang lidahnya kerap dimanjakan ragam masakan berkelas. Sementara masakan buatan dia hanyalah makanan sampah!

||||

Liana mengadoni daging sapi dengan bumbu-bumbu, telur ayam, dan tepung roti. Tangannya bergerak lincah. Adonan itu dikukus. Lalu digoreng dengan sejumput margarin. Dia yakin akan menang atas menunya kali ini, yakni bistik galantin, yang lagi-lagi resepnya dia comot dari rubrik kuliner di sebuah koran.

Baginya, makanan itu bukan makanan sampah. Bistik adalah salah satu makanan elite orang Indonesia sedari zaman kolonial Belanda. Liana telah angkat senjata. Siap mengokangnya ke mulut sang "jenderal".

"Pretty food," ujar Arya Wiguna. Matanya menyala. Gelagatnya bagai tergoda untuk segera melumat makanan kedua. Kesempatan kedua bagi calon menantunya.

"Sentuhan kuliner Jawa lho, Pak," ungkap dia setengah bangga. Henri masih tetap setia di sampingnya. Kaki mereka saling berpaut di kolong meja.

"Rasanya...." Kalimat sang penguji digantung di pita suara. Liana sudah mampu membaca bahasa tubuhnya.

"Ada yang kamu lalaikan. Sausnya kurang lezat. Saus manis-gurih inilah yang menyatukan semua unsur di atas piring: telur, galantin, polong, kentang, dan tomat. Saus mustardnya pun kebanyakan," beber dia gamblang.

Ada topan di hamparan dada Liana. Kristal air matanya runtuh. Dia tak sanggup.

|||

Liana memandangi lanskap kota dari sarang kaca raksasa. Ujung jarinya menempel di kaca yang dingin akibat terpaan hujan. Diangkatlah telunjuknya yang menggigil. Pikirannya menjelajahi masa lampau. Masa belianya. Masa di mana dirinya enggan berkutat di dapur yang sumpek nan panas. Ia lebih memilih bermain bersama teman-teman lelakinya. Ia tomboy masa itu.

Ada kerinduan menyergap. Ia teringat mendiang mamanya.

"Mama, aku kangen...." Ia melirih.

Kenangan menjadi hidup kembali, bergulir di sela-sela waktu yang tengah ia pijak. Ia masih hafal benar mamanya yang cerewet tiap kali dirinya malas mencuci pakaiannya sendiri. Apalagi harus memasak dengan segala resep yang formulanya, bagi dia, lebih rumit daripada rumus IPA sekalipun.

"Mama, aku lapar." Rengek dia sepulang kuliah. Tak ada makanan di bawah tudung saji. Cuma nasi hangat di magic jar. Mamanya demam. Tergolek lesu di ranjang.

"Masak mi instan saja."

"Bosaaan."

"Beli saja di warteg," anjur Mamanya.

"Masakannya itu-itu doang."

"Kalau begitu kamu masak aja sendiri."

Makin merengeklah Liana. Rautnya kian cemberut. Ia  benci bilamana mesti berlama-lama di dapur. Ia tak punya gairah di sana.
Lapar memaksanya untuk turun tangan. Ia ke dapur. Ia mencoba. Mamanya menyarankan sebuah resep dan memandunya dari belakang. Mamanya tersenyum walau mukanya sayu.

|||

Sajian pamungkasnya tersuguh di meja. Calon mertuanya masih terheran-heran dengan semangat dia. Masakan ketiga, kesungguhan ketiga.

"Ada gairah di tiap butirnya." Chef kondang berpostur subur itu berkomentar. Ia mengunyah sungguh-sungguh.

Air muka Liana sumringah, meski tetap cemas. Tiada Henri di sampingnya. Pacarnya telah menyerah. Namun ia yakin sang pujaan sedang memanjatkan doa agar dirinya berhasil dan bisa mempersunting dirinya.

"Tumis ayamnya gurih. Sepertinya pakai saus tiram ya?" ulas dia, si penguji.

"Iya, Pak. Saya juga menambahkan tepung maizena supaya lebih kental. “

“Selain lezat, pemilihan bahannya pun cerdas. Biasanya beras putih. Buatanmu ini beras merah yang kaya serat. Karbohidratnya juga kompleks. Akibatnya lebih lama dicerna, jadi kita bisa kenyang lama," terangnya rinci. Wawasan kuliner Liana makin bertambah.

"Iya." Liana kehabisan kata-kata.

"Henri pantas mendapatkan istri yang pandai memasak, ya kayak kamu."

Akhirnya ia mampu menekuk lidah sang master. Lidah yang terlena oleh masakannya. Masakan satu-satunya yang ia kuasai. Masakan yang selalu ia buat dengan terpaksa. Keterpaksaan yang membawanya pada hoki. Dan resep itu ialah resep warisan ibu. Nasi tim beras merah.

Tak tahan ia membendung air mata yang menggelayut di pucuk kelopaknya. Ingin segera mengabarkan semuanya kepada Ibundanya. Mengirim doa. Menyiram air mawar. Menabur bunga. Serta membelai rerumputan kecil yang menyelimuti kediaman terakhir mamanya. Hampir setahun dia tak bersimpuh di sana.

"Na, kita berhasil. Yuhuuuu!" Entah dari penjuru mana sekonyong-konyong Henri tiba dan berteriak bak anak kecil yang sukses menggondol Tamiya dari lotre pinggir jalan.

"Mas, besok temani aku ke makam mama ya."

"Iya. Asalkan lusanya temani aku juga ke KUA."

"Ah... kamu ngaco! Mana ada nikah tanpa persiapan."

Henri terbahak geli. Badannya berguncang. Pelukannya erat pada Liana. Akan tetapi Liana menangis. Menangis bahagia. (*)

  JKT ditulis 4 sampai 12 Mei 2012 13.55


Komentar

Postingan Populer