240. Jahanam, Hanya Kurang Seram [Perempuan Tanah Jahanam]

Adegan dibuka dengan obrolan Maya dan Dini, dua sahabat yang bekerja di gerbang tol. Dari membicarakan alih operasi gerbang tol, dari operator manusia ke operasi 4.0, stigma perempuan kerja sampai malam, hingga penguntitan seorang pria tak dikenal yang nyaris membunuh Maya. Hmmm, usaha apa yang dilakukan pria itu sampai tahu identitas Maya sebenarnya? Mungkin pakai ilmu hitam.

Beberapa hari kemudian, walau di dialog Maya menyebut kata kemarin usai peristiwa gerbang tol, kedua sohib itu buka toko pakaian di pasar. Penampilan Tara Basro dan Marisa Anita dibuat berpeluh. Tokonya bukan di mal berpenyejuk udara. Karena penasaran dan berprasangka mendiang orang tuanya tajir, dari foto dengan latar rumah gede, maka Maya dan Dini ke dusun Harjosari nan terpencil.

Spoiler mungkin

Yaa, karena ini film horor, di Harjosari mereka berdua menjumpai hal-hal ganjil setelah sebelumnya mengaku-aku sebagai mahasiswa yang bikin skripsi tentang dalang. Maya dan Dini heran saja, tiap hari ada aja bayi yang mati. Apalagi ketika mata Maya melihat langsung, ternyata bayi yang mati (dibunuh Ki Saptadi si dalang) tidak punya kulit! Belum lagi Dini sohibnya lenyap tiada rimbanya.

Bagian menyenangkan dari thriller Perempuan Tanah Jahanam adalah rasa lokal banget, di mana protagonis utama perempuannya memang tidak bisa membela diri. Ini berbeda dari rata-rata film thriller Hollywood, yang mana protagonis utamanya punya bekal standar membela diri. Mungkin sistem pendidikan di Amerika ada kurikulum membela diri, ikut martial arts.

Makanya, adegan Dini yang akan dieksekusi itu berlalu begitu saja tanpa perlawanan. Marisa Anita kakinya patah dua kali (di Gundala dan PTJ). Asanya juga ikutan patah. Pengadeganannya jatuh jadi polos dan kurang menimbulkan ketegangan (tadi katanya menyenangkan? 😒, maksudnya menyenangkan karena Indonesia banget dan natural). Paling ketika Dini mengaku jadi Rahayu, itu deg! Kalau Maya memang terlalu mudah ketemu truk boks yang melintas. Meski nggak semua berjalan lancar semisal sudah akan pergi tapi sopir truk dihalang-halangi hantu gadis kecil.

Film ini tentang laknat atau kutukan. Kutukan bayi-bayi yang lahir di Harjosari nggak akan punya kulit. Kutukan itu dimulai dari main serong bapaknya Donowongso (Donowongso sendiri ayahnya Dini) ke Nyi Misni. Ki Saptadi otomatis adik tiri Donowongso. Nyi Misni tahu diri, makanya dia lebih memilih diam tentang siapa Ki Saptadi, namun dia bertindak saat anak kesayangannya dimanfaatkan oleh istri Donowongso yang tak kunjung hamil. Nyi Misni punya kemampuan menyantet anaknya sendiri agar lupa pada istri orang. Sebelumnya ada kisah-kasih segitiga di sini. Cerita kilas balik ini disampaikan oleh Ratih. Perempuan hamil yang tampak mencurigakan, apa dia baik atau jahat.

Ratih bertutur, Ki Donowongso pakai ilmu hitam supaya anaknya punya kulit. Dalang muda itu membunuh tiga anak kecil. Bukan diambil sih kulitnya buat kulit Rahayu, tapi malah dijadikan material kulit wayangnya! Tapi Ratih seperti kebanyakan warga Harjosari, yang melihat peristiwa dari depan layar berupa bayangan. Seperti kata dalang yang sebenarnya akronim bahasa Jawa; ngudhal piwulang alias menyebarluaskan informasi (tuntunan dan ajaran). Makanya keluarga Nyi Misni tahu betul bagaimana menyetir opini publik melalui satu-satunya pertunjukan seni yang lekat dengan budaya agraris warga Harjosari.

Akan tetapi, hoaks selalu dikalahkan oleh fakta. Cerita versi kedua tentang dalang Donowongso yang menculik anak-anak dan membantai kelompok wayangnya sendiri diluruskan oleh salah satu hantu dari ketiga anak yang dikuliti. Hantu ini canggih lantaran bisa menghimpun montase cerita ke dalam kepala Maya. Ya, kesannya jadi instan dan gamblang. Supaya penonton umum lebih melek aja kali ya, jadi gak ada teka-teki lagi tentang apa yang telah terjadi.

Entah sekesumat apa Nyi Misni dengan Donowongso, sampai harus memfitnahnya dan menghabisi satu grup wayang miliknya. Padahal kalaupun dia tahu pelaku penculik dan pembunuh tiga anak desa adalah Donowongso, dia hanya perlu menghabisi Donowongso dan istrinya. Kemungkinan besar motifnya adalah rebutan tahta sebagai dalang terkemuka di desa.

Dan pertunjukan wayang Donowongso dan Saptadi hanya bagus secara visual, dalangnya tidak menembangkan cerita bahkan sindennya tidak menembang saat buka layar. Sebenarnya audio tembang ini bisa menambah aura mistis. Bisa jadi keputusan membisukan tembang ini untuk menghindari pakem aliran wayangnya. Takutnya meluas ke mana-mana. Lagipula konteks pagelaran wayangnya kayak main aja deh, gak dijelaskan apa untuk pesta panen, mantenan, atau lahiran bayi (eh kan pada mati).

Seorang penulis Eliot Coleman pernah menulis: Informasi itu seperti kompos; tidak ada gunanya kecuali kamu menyebarkannya.

Di Perempuan Tanah Jahanam, ada dua kubu pemilik informasi, entah itu manipulasi atau fakta, yaitu: hantu gadis kecil dan dukun Nyi Misni. Nyi Misni tahu (punya informasi) bagaimana menggugurkan kutukan di tanah jahanam, yakni menguliti Rahayu dan kulitnya dijadikan wayang kulit lalu dipentaskan semalam suntuk. Apesnya, salah orang, bukan Rahayu yang dikuliti. Sementara hantu gadis kecil juga tahu bagaimana menggugurkan kutukan. Hantu-hantu itu, yang tidak mengintimidasi, menunjukkan cara kepada Maya; kuburkan belulang kami bersama wayang kulit yang terbuat dari kulit kami. Selesai. Kutukan lenyap.

Kenapa tidak ketiga hantu kecil itu memberikan informasi kepada Nyi Misni yang notabene dukun dengan kemampuan berkomunikasi pada jin ifrit dan iblis? Kenapa ketiga hantu itu ramah pada Maya? Hey, kalian bertiga mati supaya Maya punya kulit sehalus idol korea!!! Bukan barang haram loh untuk film horor menjadikan peran ketiga hantu cilik ini jadi murka pada Maya. Sebagai tambahan elemen kehororan saja. Atau naskah bisa menambahkan bahwa pengguguran laknat Harjosari hanya bisa dilakukan oleh Maya. Mungkin pas mengubur kembali pakai setetes darah Maya. Ini remeh tapi perlu atau barangkali memang ini maunya setan aja ya, toh dia membuat satu truk boks nabrak pohon.

Berharap Perempuan Tanah Jahanam lebih sadis, contoh adegan pengulitannya benar-benar dipertontonkan. Atau dikuliti hidup-hidup. Juga adegan membunuhnya kasih variasi lain, nggak hanya gorok leher mulu. Ada satu adegan gorok leher yang terlihat palsu. CGI berbicara.

Waktu Maya atau Rahayu digantung terbalik dan berujar pada bapak kandungnya kalau selama ini bapak dibuat lupa dan sesaat kemudian bapaknya nanya ke mamanya, “ini betul toh, mak?” Agak janggal ya. Maksudnya efek santet amnesia untuk Ki Saptadi sehebat apa? Apa semua kenangan tentang Nyai Shinta (istri Donowongso) lenyap begitu saja atau hanya hilang pas memori esek-esek di ranjang? Atau jangan-jangan efek santetnya langsung hilang sewaktu Maya mengoreknya kembali? Oke, gw terlalu kompleks memahami logika dan kerincian narasi film. Maafkan, daku. Paling nggak, walau kurang sempurna,  Impetigor (judul Inggrisnya) masih horor lokal terbaik tahun ini. Adegan pembukanya juara. Musik latarnya... mistis! Sinematografi pencahayaan kampungnya mantul. Nggak mesti gelap-gelapan kayak film-film Pichouse. Kuning, warna yang purba.


Komentar

Postingan Populer