238. Sambaran Sancaka Kurang Murka [Gundala film]

Pengkor menguasai beberapa anggota DPR. Mungkin dia membiayai kampanye mereka. Walau ada anggota dewan terhormat yang idealis. Ridwan Bahri, Dirga Utama, dan paling vokal Ferry.

Motif Pengkor sangat pribadi namun dendamnya menjangkiti seluruh negari. Dia tipe orang yang gampang menggeneralisir kejahatan orang per orang menjadi kejahatan sosial pada dirinya. Dia yatim, orang tuanya difitnah dan dibunuh, dan masuk panti asuhan seperti neraka.

Karakter antagonis Pengkor yang dimainkan aktor jiran Bront Palarae memilih latar belakang yang sama suramnya dengan Sancaka (Abimana Aryastya). Belum jelas apokaliptik macam apa yang membuat kehadiran negara seolah seperti siluman. Banyak demo buruh pabrik. Premanisme pasar. Sampai sengkarut kolusi antara pengusaha Pengkor dan wakil rakyat. Mungkin sedang ada krisis ekonomi atau embargo perdagangan.

Antara masalah dan masalah termanifestasi lewat gambar-gambar kumuh: kemiskinan, kuli panggul pelabuhan, pabrik dengan bangunan seng, stasiun kereta terbelangkai, dan sekuens kejar-kejaran di kota tua. Gambar yang seolah berjarak dengan masa kini penonton. Walau masa kini itu juga hadir di film melalui smartphone layar sentuh dan tv LED juga mobil keluaran terbaru.

Sancaka membutuhkan banyak pantikan agar punya momen untuk bergerak melawan kemungkaran. Dia didoktrin sejak kecil oleh kehadiran Awang yang sekilas. Kayaknya itu kurang nyambung sama memori pahit kecilnya ketika sang bapak mati ketika demo lantaran dikhianati teman buruhnya dan kepergian mamanya yang selalu hadir dalam mimpi-mimpi panjangnya. Ada yang janggal ketika Sancaka mendefinisikan: jangan ikut campur urusan orang kalau gak mau susah. Dia sebagai sebatang kara kerap ditindas oleh preman pelabuhan dan pasar. Hidupnya keras. Namun jago pencak silat. Lebih legit alasan Spider-Man membela kebenaran karena pamannya dibunuh oleh perampok. Mungkin ada gap psikologis ketika Peter Parker dan Sancaka memulai jadi jagoan. Parker dalam fase remaja yang nekatan. Action first, talk later.


Adegan Sancaka masuk ke mobil di kota tua itu seperti rumus trigonometri yang kacau. Salah sudut kamera mungkin. Misal kenapa mobil itu tetiba berhenti di ujung gang? Bagaimana pandangan mata sopir dan perempuan di dalamnya tahu Sancaka sedang dikejar? Terus begitu cepat  mengiming-imingi ingin adopsi.

Ada adegan Sancaka dilempar dari atas gedung dan pakai CGI dan terlihat palsu. Mestinya pakai boneka aja, belum darurat banget mesti pakai CGI. Bahkan kekuatan petir Sancaka nggak benar-benar dimanfaatkan. Barangkali dia nggak sampai hati menyetrum preman pasar kelas teri dengan arus 20.000 ampere. Kalaupun ada dua preman yang tersambar, tubuhnya tidak diperlihatkan terbakar. Efek kekuatan listrik Sancaka kurang menggigit, baik secara saintifik maupun sinematik.

Minus terakhir deh, adegan tarung anak-anak yatim Pengkor sangat buruk. Penyuntingannya seperti ada yang bolong. Kecepatan dan keindahan koreografinya tidak sememeranjatkan Swara Batin yang dilakonkan Cecep Arif Rahman. Mubazir selain Swara. Sebenarnya tokoh hipnotis Kamal Atma lumayan menarik meski sayangnya memberi impresi Pengkor menjadi “jahat murahan”. Dia kurang elegan di momen saat membunuh Dirga Utama. Kesannya gampang pemarah. Dan kenapa dia lolos maut hanya karena bersembunyi di lemari sebaiknya tidak usah diperdebatkan karena kita pun abai saat Indiana Jones lolos dari ledakan nuklir di film Kingdom of the Crystal Skull karena dia bersembunyi di dalam kulkas. Kulkas itu terlempar alih-alih dilumat api-api uranium.

Satu lagi, power petir Sancaka sebaiknya masuk dulu sebagai mitologi Ki Ageng Selo (seperti versi komikus Hasmi) dari babat Jawa sebagaimana ketertarikan penonton lokal akan mitos. Lalu mendung mitos itu terkuak lewat dialog Sancaka mengenai persamaan resonansi pedang dan kaca, kendati agak unbelievable sebab nggak jelas apa Sancaka sekolah atau tidak. Hanya dijawab, ya baca, ke adiknya Wulan.

Paling nggak, film ini punya adegan kelahi dengan preman-preman pasar yang lebih keren daripada anak-anak Pengkor. Anggota-anggota dewan yang ujug-ujug berubah nasionalis, ini mengherankan sih kok pengaruh Pengkor jadi memuai di sini. Tapi serum amoral nggak absurd banget kok, itu kayak bagaimana skenario hoaks ala Ratna Sarumpaet bekerja. Alegori. Makanya kebenaran serum amoral ini dipertanyakan dengan ngotot oleh Ferry anggota dewan.

Skenario hoaks ini punya nilai plus untuk naskahnya yang beberapa punya bolongan sebab-akibat. Seharusnya skenario hoaks ini jadi plot utama dengan menyertakan perusahaan farmasi milik Pengkor terlibat kongkalikong korupsi anggota dewan yang terhormat. Namun cerita perlu meruncing dengan cepat agar ada suspennya. Suspen ketika obat akan segera diinjeksikan dan punya efek mematikan dan kejar-kejaran dengan Sancaka.

Easter egg-nya sungguh memesona. Terutama kehadiran Sri Asih dan Ki Wilawuk yang menggidikan bulu roma. Penonton selesai nonton dan keluar bioskop punya sumbangsih untuk melanjutkan sekuel proyek Bumilangit. Ada rasa optimisme akan keragaman genre sinema Indonesia yang mayoritas menjemukan.



Komentar

Postingan Populer