233. Sekala Niskala: Safari Dua Alam si Kembar Buncing

Manusia punya kehendak emosi yang bebas, terutama mengekspresikan perasaannya. Sekala Niskala, yang terlihat dan tak terlihat, merupakan bentuk ekspresi baik dari indrawi dan nonindrawi. Ekspresi yang lahir dari kecemasan, kesedihan, dan perasaan kehilangan dari seorang saudara kandung, Tantri, pada Tantra yang tengah sakit keras.

Mereka kembar buncing, lelaki dan perempuan, yang tinggal di latar Pulau Dewata yang sarat dengan adat ritual dan mitologi. Karena saya orang Jawa, mitologi Bali dan Jawa mirip, pun bahasanya (Sekala Niskala 100 % bahasa Bali). Mitologi dari akar Hindu India. Mereka kembar, yang menurut mitologi tentang raksasa Kala Rahu (Kala Rau, bahasa Bali), merupakan sukerta mangsa betoro kolo atau mangsa yang dimakan Batara Kala (nama lain Kala Rau). Kala (kala berarti juga sial) adalah raksasa yang memakan rembulan akibat kedengkiannya pada Dewa Bulan sehingga menyebabkan gerhana. Kala juga memakan anak-anak dan orang-orang dengan unsur negatif, di antaranya kembar, anak tunggal, pandawa (kembar lima cowok), anak kerdil, dan lain-lain.

Spesifik ke ranah Bali, konon dulu, anak kembar buncing (manak salah) akan diusir dari kampung karena dianggap pembawa sial dan bencana. Namun budaya itu sifatnya standar ganda dan diskrimatif, lantaran hanya berlaku untuk warga kasta bawah dan menafikkan kembar buncing dari kasta atas. Tentang ini, saya baca artikel Dr. Suryadi, MA., di kanal Kompasiana.

Kembali ke film panjang kedua garapan Kamila Andini. Latar waktunya modern, nggak ada pengusiran kepada keluarga Tantra. Suasana film berat pada ekspresi kesedihan Tantri melihat saudaranya sakit tumor otak dan tergolek lemah di rumah sakit tanpa harapan. Pada awal film, mereka terhubung dengan telur, putih dan kuningnya. Tantra suka kuningnya, Tantri putihnya. Ada kejadian janggal saat Tantri tidak menemukan kuningnya di telur rebus. Itu simbol kalau kuningnya sudah dimakan oleh Tantra walaupun sedang tergolek di bangsal rumah sakit.

Kadang penonton bingung, mana sekala atau sunyata, mana niskala atau liyan. Yang nyata dan yang lain. Keduanya melebur dalam satu sinematografi. Ketika Tantri bermain dengan Tantra di ladang ditemani anak-anak kecil yang berguling. Tatkala Tantri menari di bawah rembulan yang kian redup, mungkin akan dimakan Kala meski tidak gerhana. Kamila Andini dan Anggi Frisca sebagai sinematografer memang tidak memisahkan alam keduanya dalam batasan gambar dan plot yang jelas, kendati dari bebunyian ada bunyi horor-mistis di antara keduanya. Kedua alam itu menyatu dan tidak digambarkan sebagai alam cerah dan alam gelap. Kehadiran anak-anak kecil yang suka kepret ketek dan berguling pun tak seram penampakan.

Keputusan Tantri untuk tidak sesenggukan sehari tiga kali di samping ranjang adiknya (kakaknya?) yang sekarat disubstitusi dalam gerak ritual, misal tarian ayam setelah Tantri melihat sabung ayam dan gerak ala monyet yang dia lihat di tempat pemujaan. Meski Tantra sedikit demi sedikit kehilangan sensibilitas kelima indranya, tapi jiwanya tidak terpenjara di tubuh lemahnya. Tantra bersafari ke dunia lain bersama Tantri.

Film yang belum lama diputar di FSAI 2019 ini bertutur dalam bahasa yang implisit dan simbolis. The Seen and The Unseen, judul globalnya, mengendarai ranah mistik dan mitos untuk menyampaikan kisahnya. Semacam penegasan kalau masyarakat Bali masih memegang teguh adat dan tradisinya hingga dikenal oleh dunia, walau kadang tradisinya dikomodifikasi (dikomersilkan) sebatas pertunjukan untuk turis. Memang filmnya sangat sunyi dan pasif karena keputusan mencerna ada di kepala penonton sendiri.

Komentar

Postingan Populer