232. Dendam Brutal Kaum Marjinal [US 2019]

Tiap cerita acap punya pesan turunan yang kongruen dari narasi gamblangnya. Seperti Get Out karya Jordan Pelee, film rasisme-paradoksikal dengan pendekatan fiksi ilmiah tegang. Film keduanya tahun ini mencomot konsep cerita mitos doppelganger, sebuah refleksi dua diri dalam suasana supranatural, yang secara lisan hidup pada peradaban Mesir Kuno, Nordik, dan Finlandia. Tentu memakai gaya fiksi ilmiah yang lebih subtil dibanding Get Out.

Spoiler, maybe!

Konsep twin-evil itu diterjemahkan lewat drama traumatik Adeilade, gadis kecil, yang tersasar dalam labirin kaca di pasar malam di Santa Cruz tahun 1986. Melihat refleksi diri sendiri, anehnya, bukan dalam pantulan cermin. Tiga puluhan tahun kemudian, Adeilade telah berkeluarga, dengan dua anak. Ketika liburan di rumah musim panas, mereka didatangi satu keluarga, kembaran mereka sendiri—the tethered. Masing-masing mereka dikonfrontasi oleh kembaran mereka; Adeilade dengan Red, Gabe dengan Abraham, Zora dengan Umbrae, dan Jason dengan Pluto. Ada yang menuntut, ada yang main trik, ada yang kejar-kejaran dengan gunting, juga sikut-sikutan di perahu mesin.

Pada awal layar, penonton diberi deskripsi kalau di Amerika banyak terowongan yang tidak berfungsi lagi. Kisah itu mengingatkan akan film Australia “The Tunnel” tentang terowongan dan bunker era perang dunia yang terbengkalai dan dihuni tunawisma. The Tunnel menjadi horor supranatural ketika sekelompok jurnalis meliput hilangnya tunawisma secara misterius dan di balik bungkamnya pemerintah setelah mengumumkan proyek air bersih dari danau terowongan. Di film panjang keempat Monkeypaw Productions, ini, bagian muasal the tethered berbaju merah kurang mendapat ruang penjelasan, kecuali sebaris dialog kalau mereka diciptakan untuk mengontrol manusia atas dan dicampakkan karena dianggap gagal. Jadi kalau manusia atas beraktivitas maka manusia bawah juga beraktivitas sama meski tanpa stimulasi sama sekali. Misal manusia atas makan, manusia bawah juga makan walau tanpa makanan. Tapi kok ya mereka hidup ya? Mereka, manusia bawah (kaum marjinal dalam konteks luas), bukan tidak bisa berbicara tapi tidak bersuara. Suara mereka mereka tidak didengar oleh elite politik—di belahan dunia mana pun.

Manusia bawah digambarkan nggak punya jiwa lantaran menebeng (tether) secara motorik kasar dengan manusia atas. Mereka tidak bisa berbicara dan instingnya lebih purba. Seperti Adeilade bawah yang akhirnya dilatih motorik halus, seperti menggambar, menari, dan menulis. Barangkali ini terkait dengan fungsi otak kanan, emotional quation, macam menari, melukis, menyanyi, dsj. Untuk kesetimbangan, agar Adeilade bawah menjadi manusia seutuhnya, dengan jiwa.

Mari menilik Us dari kacamata interpreratif. Bahwa eksistensi manusia bawah, di luar konteks percobaan ilmiah pastinya, merupakan gambaran dari suasana sosial politik rakyat Amerika baik era 86 maupun masa kini. Dan terkesan apokaliptik.

Di pasar malam, ada seorang gipsi atau gelandangan memegang tulisan  "Jeremiah 11:11" .

Karena itu beginilah firman Tuhan: “Lihatlah, Aku pasti akan mendatangkan malapetaka atas mereka yang mereka tidak akan sanggup melihatnya; dan meskipun mereka berseru kepada-Ku, Aku tidak akan mendengarkan mereka.”

Apa yang dilakukan manusia bawah ketika muncul di permukaan? Mereka membunuh kembaran mereka, atau terbunuh oleh kembaran-atas mereka. Mereka membentuk konfigurasi gandengan tangan di seluruh benua (Hand Across Amerika) seperti 30an tahun silam di tv. Presiden Ronald Reagen pernah ikut mengampanyekan program Hand Across dengan tujuan memberantas kelaparan, pengemis, dan gelandangan sesuai Pembukaan UUD 1945. Padahal di rezimnya, dia banyak memotong APBN untuk sektor itu.

Kehadiran mereka bisa dimaknai sebagai dendam kolektif gelandangan atas rezim munafik dan dendam pribadi seperti pada Adeilade atas dan Adeilade bawah, seperti pada twist-nya yang bikin kita mencari-cari kabel di kepala kita, supaya lebih masuk akal dan tidak meninggalkan lubang plot yang disalahpahami. Kemunculan mereka pun bisa dipahami sebagai evolusi mental, koloni modern yang brutal, dan sindiran kalau manusia yang mengaku paling berjiwa pun masih menebarkan semangat rasisme, antisemitisme, Islamofobia, dan antichina (eh!). Namun, mampukah manusia bawah tanpa jiwa melanggengkan peradaban di muka bumi?

Us tetap punya racun horor yang mengagetkan dan berdarah-darah. Drama traumatik yang sukses mengawani mendung gelap Adeilade. Scoring yang membangkitkan. Joke yang terukur. Dan twist ending yang… bikin kepala kita memproses ulang semua kemungkinan saat melihat senyum ambigu Lupita Nyong’o ke Jason.

Komentar

Postingan Populer