230. Happy Confusing Day [Happy Death Day 2U]

Ditulis agak rinci, namun tidak disebutkan siapa pembunuh bertopengnya. Kemungkinan spoiler bagi Anda.

Ketika muncul dua tahun lalu, Happy Death Day menawarkan cerita horor disertai fenomena metafisika. Nggak seperti sekuelnya tahun ini, Happy Death Day cenderung supranatural-tradisional. Lalu sekuelnya lebih menjelaskan kalau fenomena itu ternyata ilmiah (fiksi). Datang dari proyek sains tokoh Ryan, yang di film pertamanya berkali-kali memergoki Tree dan Carter di kamar. Ryan (Phi Yu), Samar (Suraj Sharma), dan Dre (Sarah Yarkin) bikin mesin purwarupa pelompat waktu (time looper) dengan catu daya mahabesar dan sering bikin listrik kampus jepret mulu.

Happy Death Day 2U dimulai dengan time-loop pada Ryan. Dia tidur di mobil, masuk area kampus, ke lab, bertemu pembunuh bertopeng. Terbangun. Terulang lagi. Sepertinya film menjanjikan tokoh utama baru, Ryan, tapi tetap saja, kemudi peran ada di Tree (Jessica Rothe) yang menyadari anomali masa akibat ulah Ryan. Tree geram. Dan sotoy bisa memperbaiki, tapi apes, Tree malah masuk ke enam semesta paralel dan menyadari banyak variabel kebahagiaan di semesta lain ketimbang semesta yang sedang dijalani. Jadi jelas, event di film pertamanya merupakan semesta lain dengan film keduanya. Untuk melompat antar semesta, Tree perlu reboot dengan cara mati (bunuh diri atau dibunuh psikopat bertopeng bayi).

Entah kurang rinci, Tree reboot lebih dari tujuh kali—jika secara mutlak, kata Ryan, memang cuma ada enam semesta—di antaranya; mati kesetrum di bath-up, giling diri di tong sampah, skydiving, minum superpel, ledakan oksigen, nabrakin diri di gardu PLN, dan lompat dari menara jam (ada lagi?). Jika di semesta A Tree mokat, Tree akan tetap hidup di semesta B, dst. Terus ada lubang plot, ketika Ryan A dan Ryan B bertemu di satu semesta sementara Tree A dan B nggak pernah bisa bertemu. Berdasarkan teori film Donnie Darko, hanya ada dua benda yang bisa tembus ke semesta lain, yaitu logam dan air. Oke, tubuh manusia 80 % air dan Ryan bisa tembus ke semesta lain tanpa reboot, tapi kan tetep pecah tubuhnya kalau dipaksakan. Balon isi air, benda padatnya, karet balon, cuma 10 %. Kalau 10 % itu pecah, air (darah manusia) muncrat ke mana-mana.

Bagian janggal ketika Tree mesti bertemu tiga mahasiswa sains itu di lab. Karena seperti reboot, otomatis mereka nggak punya memori, ada apa dengan Tree dan kasusnya? Analoginya smartphone Anda direset pabrik, nggak ada internal storage tersisa. Semuanya terjadi begitu saja, seolah sutradara dan penulis mau bercerita umpama hujan deras dan mengguyur tanah. Tanah (penonton) tentu nggak sanggup menampung semua limpahan air, maka terjadi erosi. Entah erosi karena nggak paham ceritanya atau erosi menggugat dari penonton lain yang merasa ada yang tidak beres dengan naskahnya. Terlalu banyak peristiwa (loop time) sampai film lupa pada logikanya-sendiri. Disebut logikanya-sendiri lantaran film tidak mesti logis asalkan konsisten.

Tentang efek kupu-kupu (butterfly effect) aku kurang jelas. Efek kupu-kupu itu ketika kita ke masa lalu dan mengubah kehidupan kita kemudian di masa depan kehidupan itu berubah. Contoh, aku akan menggagalkan diriku di masa lalu supaya nggak nyimenk (ganja) dan memaksanya belajar giat sebulan sebelum UN juga membuatnya berlangganan Ruang Guru. (aku di masa depan mengubah aku di masa lalu karena aku di masa depan nggak lulus UN).

Butterfly Effect diperkenalkan oleh Edward Norton Lorenz bahwa badai di Brasil bisa terjadi akibat kepakan sayap kupu-kupu. Pada film arahan Christopher Landon nggak ada penjelasan efek kupu-kupu karena antara satu semesta dan semesta lain, nggak berhubungan. Kecuali Tree reboot dan dengan kesadaran memorinya bisa bertindak. Bagian ini aku kurang jeli mungkin mengamati filmnya, mohon bantahan.

Rempah horornya kurang pedas, tapi komedinya bertambah. Film pertamanya level 13, keduanya cuma level 5. Namun penonton masih dibuat ngeri-ngeri sedap sedikit tatkala Ryan diteror di lorong sekolah. Dan Tree tentu sudah imun bertemu dengan si pembunuh. Dia bisa mengatasi diri sendiri. Lihainya, penulis mengalihkan cerita Tree pada cinta sang ibu. Aku agak berdesir melow bagian cerita ibu anak ini. Alamak, menyentuh banget ketimbang percintaan Tree dengan Carter. Namun, nggak mau membocorkan siapa pembunuhan bertopeng, hanya saja motifnya konyol dan nggak semengejutkan film pertama. Endingnya yang mesti pamungkas, sebaiknya kita lupakan saja.

Bagaimana Tree memilih sesuatu yang sudah berlalu, masih memiliki ibu, dan mengabaikan yang sedang terjadi, pujaan hati yang menjadi korban. Belajar kehilangan ortu adalah tentang membentuk diri kita sendiri. Manusia bukan saja makhluk biologis, yang bernapas, makan, lalu berubah tubuhnya. Manusia juga makhluk psikologis, bahagia, sedih, stres lalu berubah pikiran dan jiwanya—entah menjadi kian dewasa atau karam dalam danau kesedihan. Film yang masih diproduseri Jason Blum ini masih bisa dinikmati sebagai wahana yang menyenangkan saja. Nggak perlu dipikir dengan kening berkerut.

Komentar

Postingan Populer