189. Gadis Yang Mengakhiri Permainan

Membuat film yang minimalis memang susah-susah gampang. Di sisi lain banyak partikel-partikel yang perlu dibuang, di sisi lain perlu memberi kebersahajaan demi gaya film tersebut, seperti pada Final Girl (2015)

Gadis kecil tanpa latar belakang yang terang diwawancarai seorang pria.
"Ayah Ibumu meninggal, apa perasaanmu?"
"Biasa saja, semua orang mengalami itu."

Tanpa motivasi yang benderang (sebuah partikel yang tercampakkan), William (Wes Bentley) berencana melatih gadis itu, Veronica (Gracyn Shinyei). Ketika besar, Veronica (Abigail Breslin) punya misi membasmi empat lelaki berandalan yang hobi memburu dan membunuh puluhan gadis muda. Yaitu Jameson (Alexander Ludwig), Shane (Cameron Bright), Nelson (Reece Thompson), dan Daniel (Logan Huffman).

Singkat cerita, Veronica mengorbankan diri sebagai target para lelaki bandit yang suka pakai tuksedo ke hutan untuk membunuh para cewek. Veronica yang dalam dialog William telah dilatih satu dasawarsa lebih dua tahun untuk menjadi jagoan mesti menghadapi keempat lelaki, terutama sang alfa, Jameson, yang lebih tangguh.

Sudut kamera dan sinematografi secara keseluruhan sangat indah mendukung kosmetika cerita film. Namun penokohan Veronica yang seharusnya penonton bersimpatik kepadanya terasa hambar. Karakternya hanya satu dimensi: pembalas dendam bagi 20 cewek yang mati sia-sia di tangan empat cowok berandal. Lalu hubungan dengan sang pelatih, William, juga tidak berkembang. Ada partikel sampah yang mesti dibuang di sini: Veronica sudah terlatih membunuh dan membela diri selama 12 tahun lalu untuk apa dia menjebak ketiga cowok, kecuali Jameson, untuk minum alkohol bercampur cairan DNT yang bikin si cowok berhalusinasi sehingga mudah dikalahkan oleh Veronica? Kita analogikan, kamu sudah berlatih berenang 12 tahun lalu ketika kapal yang kamu naiki karam di pantai (kayak Rafelia), kamu masih pakai pelampung.

Juga gaya bela diri Veronica terasa kikuk. Dan apa motivasi William melakukan ini semua, apa dia anggota FBI yang mengincar keempat cowok jahanam itu. Oh, come on, banyak potensi dari skrip yang sebetulnya bisa menarik tapi tersisih. Tapi saya punya sanggahan, ini hanya film yang sifatnya kurang ajar dengan dunianya sendiri. Jika kamu berpikir begitu, oh amboi betapa Final Girl begitu molek, minimalis, dan stylish, walau kurang garang aja aksi fight-nya.

Komentar

Postingan Populer