153. Perempuan Tangguh di Samping Sang Pahlawan


Likas Tarigan adalah istri dari pejuang Letjen Djamin Ginting, sang tentara PETA, satu dari dua ajudan Jenderal Ahmad Yani yang selamat saat pemberontakan G30S, dan pernah menjadi duta besar Indonesia untuk Kanada.

Nama Likas boru Tarigan memang tidak sepopuler Ainun, Kartini, bahkan Cut Nyak Dien dalam (wanita) sejarah Indonesia. Melalui layar lebar bertajuk 3 Nafas Likas, Rako Prijanto berusaha mengenalkan nama beliau dalam seratusan menit.

3 NAFAS LIKAS

Pemain: Atiqah Hasiholan, Vino G. Bastian, Tutie Kirana, Marissa Anita, Mario Irwinsyah, Arswendi Nasution, Ernest Samudra, Tissa Biani Azzahra.
Produser: Rihana Djamin Gintings, Reza Hidayat.
Penulis: Titien Wattimena.
Sutradara: Rako Prijanto.
Studio: Oreima Films

Likas kecil (Tissa Azzahra) adalah perempuan yang bersemangat bersekolah dan cerdas. Dia sampai mengobrak-abrik ladang jagung milik tetangganya hanya karena merasa dihina temannya. Kemauannya untuk sekolah kian membara karena tidak mau hanya menjadi perempuan yang tunduk pada kodrat adat--menemani suami ke sawah, menumbuk padi, mengurus anak dan babi, sementara sang suami bersenang-senang dengan mulut bau tuak. Begitulah kira-kira nasihat yang dia dengar dari Jure (Ernest Samudra), kakak laki-lakinya, seorang pelaut.

Ibunya (Jajang C Noer) yang konservatif dan posesif adalah tembok berlin bagi kebebasan Likas melanjutkan ke sekolah Belanda. Ia diimingi-imingi perhiasan agar mengurungkan niatnya bersekolah lebih tinggi.

"Kalau kau bersekolah ibu bisa mati," raung Ibunya sedih. Tapi bapaknya (Arswendi Nasution) adalah penolongnya hingga Likas kecil bersekolah sampai menjadi guru di Padang Panjang.

Sampai suatu ketika di Pangkalan Brandan, Likas dewasa (Atiqah Hasiholan) bersua dengan pejuang PETA bernama Djamin Ginting (Vino G Bastian) yang mengiriminya banyak surat demi mencuri hatinya. Walau tak mudah, Likas pun luluh menerima pinangannya. Sebagai pasangan baru, hidup Likas yang getir baru akan dimulai.

Dia sering ditinggal suaminya berjihad di medan perang melawan pihak Belanda baik sebelum dan sesudah membonceng sekutu pasca kemerdekaan. Likas dan handai tolannya juga mesti mengungsi hingga ke Aceh selatan.

Konsekuensi membuat film biopik (biography picture) bagi para film maker adalah membingkai banyak rentang masa dalam slot-slot minor (sebut saja fragmen). Rentang masa yang cukup lebar antara tahun 1930-an hingga 2000-an memungkinkan film menangkap banyak pesan dan emosi. Berhasilkah? Sedikit kedodoran. Jika biasanya film biopik, sebut saja Soegija (2012), Habibie & Ainun (2012), dan Sang Kiai (2013)--film milik Rako Prijanto sendiri dan meraih Citra tahun lalu, berpola atau katakanlah beritme 2-2-4-6-2 dengan emosi kita membuncah karena tenggelam di not 6, sepertinya 3 Nafas Likas mempunyai ritme 2-2-3-2-2. Penonton mungkin akan tersentuh (minimal berkaca-kaca) tapi emosinya kurang ditenggelamkan oleh not 3.

Film ini tetap terjaga dengan naskah yang ditulis apik oleh Titien Wattimena, walau kurang entah karena rentang masa yang terlalu banyak dalam fragmen-fragmen yang kecil atau memang kurang ada plot yang diprioritaskan. Ibaratnya kita mau menangis karena kematian Jure (abang Likas) tapi sekonyong-konyong adegan berganti tahun. Juga saat kita mau trenyuh saat pengungsian di Aceh, dengan cepat adegan berganti tahun.

Sisi humor tetap diselipkan saat Likas hendak ke Medan mau melihat suaminya ditawan dengan naik truk milik orang Tionghoa. Sepanjang jalan Likas mesti memangku akumulator yang berat itu dan banyak gerak sehingga truknya mati.

"Makanya bu, daripada banyak gerak mending banyak bicara," kata Tionghoa itu yang sebelumnya dibentak Likas karena ceriwis. Juga saat Djamin Ginting pulang ke Sisingamangaraja dengan naik panser sampai kaca rumah bergetar.

Sepuluh persen film ini memakai aksen Tanah Karo saat Likas dan Djamin sudah menikah. Seharusnya aksen Karo mulai diperkenalkan di awal film saat masa kecil Likas di desanya nan permai di Sibolangit demi menjaga keotentikan lokalitas. Pemeran ibu Likas (Jajang C Noer) juga tampak sangat tua. Zaman londo kan perawan 15 tahun juga sudah dinikahkan. Harusnya jadi neneknya.

Apalagi pertempuran melawan sekutu terasa kurang semenggigit seperti pada film Sang Kiai yang amat heroik dan patriotik di Surabaya. Hanya beberapa animasi pesawat, sedikit bom, dan tembakan. Mungkin kurang anggaran.

Tetap 3 Nafas Likas menarik diikuti sebagai perayaan perempuan dalam kancah perjuangan bangsa yang sering diremehkan karena benturan adat. Bilamana kita lama mengenal petitih "ada perempuan hebat di balik pria sukses", maka film ini punya petitih sendiri, "ada perempuan tangguh di samping sang pahlawan bangsa".

Komentar

Postingan Populer