150. Sparta Versus Persia Versi Asia


Syahdan, empat abad lalu, angkatan laut (AL) Dinasti Joseon (sekarang Korea) hanya memiliki 12 armada kapal untuk menangkis kembali invasi kedua AL Jepang (Zaman Azuchi-Momoyama) dengan 300 kapalnya di pantai Joseon.

ROARING CURRENTS
Pemain: Choi Min Sik, Ryu Seung-ryong, Jin-Woong Cho, Myung-gon Kim, Ku Jin, Jung-hyun Lee.
Sutradara: Han-min Kim.
Naskah dan cerita: Cheol-Hong Jeon, Han-min Kim.
Studio: CJ Entertainment.

Laksamana AL Joseon, Yin Sun-sin (Choi Min Sik) meminta pasukan lebih pada raja namun ditolak. Akibat kekalahan telak di Chilchonryang, AL Joseon cuma memililki 12 kapal, sisa-sisa perang. Mau tak mau dia harus menghadapi ratusan armada Jepang di bawah komando Kurushima Michifusa (Ryu Seung-ryong) dan Wakisaka Yasuharu (Cho Jin-woong).

Kondisi tersebut cukup menciutkan nyali pasukan Joseon. Ketakutan akan kekalahan perang, mati sia-sia, bercokol di benak tiap pasukan. Bahkan demi membakar semangat pasukannya Yin Sun-sin harus memenggal kepala anak buahnya dan membakar kamp di pantai. Apa itu cukup? Tidak! Rasa takut akan tetap menjadi takut sampai kita benar-benar menghadapinya di depan mata.

Roaring Currents (Myeong-ryang) merupakan salah satu "bom atom" yang meledak dan terjual 16 juta tiket di bioskop lokal Korea Selatan [bandingkan di Indonesia yang penduduknya 230an juta, film paling banyak ditonton Laskar Pelangi, hanya terjual 5 juta tiket]. Film tentang sejarah Korea tahun 1597 melawan gempuran kolonial Jepang memang sangat menarik minat warga Korsel untuk mengapresiasinya, ditambah aktor Choi Min Sik dan Ryu Seung-ryong yang menjadi magnet untuk film ini. Meski di sektor akting tiada yang membekas di benak (forgettable).

Babak pertama film ini skenario dibangun lewat drama dan pergumulan masing-masing karakter, salah satunya tokoh sentral Yin Sun-sin merasa pernah babak belur di Chilchonryang. Lewat gestur dan mimik marah yang kalem, Min Sik agak berhasil menyampaikannya. Sekuen babak pertama pun terasa mengulur-ulur dan divergen (kurang fokus) membangun fondasi drama-cerita. Tidak seperti film Korea biasanya yang terasa mantap membangun drama dan menyublim jadi satu dengan gagasan utama cerita filmnya. Ini berpotensi menghambarkan rasa emosional penonton. Dan memang garing. Agak garing.

Namun, kekikukkan dan kegaringan di babak pertama dibayar di babak peperangan di selat dengan strategi kearifan alam berupa pusaran air dan siklus gelombang deras yang menjadikan Dewi Fortuna berpihak ke Joseon. Komposisi orkestra (score) nan riuh dan garang menyuntikkan semangat peperangan, cukup grande untuk konten bioskop. Sayang format audio teater studio 8 blitzmegaplex terdengar melempem.

Peperangan kapal jarak jauh dan jarak dekat pastinya patriotik dan heroik, dengan darah memuncrat, mata tertancap anak panah, dan kepala terpenggal, serta meriam berdebum. Memang dibayar tapi tidak dibayar lunas. Peperangan Roaring Currents sangat klise. Ya memang perang seperti itu. Mungkin kesalahan di babak pertama.

Alhasil... Roaring Currents tetap renyah sebagai tontonan alternatif selain hegemoni basi Hollywood.

Komentar

Postingan Populer