131. Surat

Cerita mini ini berlatar tahun 1998, mengingatkan kita pada tragedi Trisakti 14 tahun silam dan kudeta berdarah di Jakarta.



OLEH: abu sudar



Aku semakin sering mengirim surat ke kotamu semenjak merebak hiruk pikuk kerusuhan di tempatmu merantau. Kulihat dari televisi sekumpulan demonstran dan massa membumihanguskan kotamu. Tentang mahasiswa-mahasiswa yang dadanya bolong diterjang peluru panas. Tentang himpunan jiwa yang terkurung dalam kubus kaca yang mengobarkan api kematian. Tentang kamu?



Aku baik-baik saja di Jakarta. Wilayah selatan relatif terkendali, meski ada saja massa yang menjarah pertokoan. Kalau kondisi tak memungkinkan, bos kami menyuruh kami pulang lebih cepat.

Tak perlu mengkhawatirkanku.



Jakarta, 14 Mei 1998.



Secuil kelegaan terbit usai membaca penggalan suratmu. Aku membaui kertas folio itu. Aku ciumi baumu. Baumu sudah menguap jadi kenangan. Tulisan tanganmu masih serapi dulu tatkala kita sekelas. Tulisanmu pun sudah membeku jadi kenangan di buku catatanku. Diam-diam aku merindukanmu.



***

Kudeta Berdarah. Aku tegang membaca judul suratmu. Aku lebih dulu tahu itu dari media massa. Apa pun itu aku memang suka caramu bercerita. Berkisah dari sudut pandangmu. Sudut pandang bujang desa yang baru setahun merantau ke kota juragan. Menggantung cita-cita semenjulang monumen berpucuk emas atau bahkan setinggi rembulan berona emas. Namun takdir seakan banting kemudi. Kemudi reformasi. Menjungkalkan tirani dari tahta berumur empat windu.



"Apa cita-citamu?" tanyaku begitu. Kamu diam sejenak sambil menggulung celana abu-abumu yang terlampau panjang.

"Aku ingin merantau ke ke Jakarta."

"Ah, kamu ikut-ikutan orang-orang di sini. Belum tentu kalau ke Jakarta itu sukses." Kucoba menasihatimu agar urung meninggalkan desamu. Meninggalkan aku. Diam-diam aku mencintaimu. Tetapi aku terlalu lugu.

"Aku ingin bekerja di kantoran. Walau aku sadar ijazah SMA-ku cuma mampu mendudukkanku di kursi pegawai. Pegawai rendahan."



***

Kamu memang tipe laki-laki yang pandai mempermainkanku. Surat-suratku tak lagi kamu balas. Pun kamu tak lagi menghubungiku dari wartel. Masih ingat ketika aku tersipu malu lantaran berlama-lama berbicara denganmu di rumah pak kades. Tak lagi kudengar suara rendahmu nan lembut. Diam-diam aku kehilangan dirimu. Diam-diam kamu menghilangkan dirimu.



"Pos!" Suara yang kunanti diiringi klakson. Rupanya kamu tak kuasa melupakanku.



Suratmu lebih besar sampul coklatnya. Kuduga semacam kejutan. Mungkinkah kamu naik jabatan atau isinya foto 4 R yang merekam dirimu bersama artis Jihan Fahira. Aih... kamu memang tipe pria yang pandai meremas-remas perasaan perempuan.



Aliran darahku mengalir berbalik arah saat kurobek sampul dan kumunculkan isinya. Telingaku mendengar reruntuhan rembulan emas yang menghambur di area sawah yang siap panen. Sekali pun tak pernah kamu bicara hal ini. Aku pun keliru sebab teramat takut mengungkapkan bahasa itu. Aku diam-diam telah mencintaimu. Tak bisakah kamu diam-diam memahamiku? Tak pernahkah nalurimu mengajarimu untuk mengerti aku?



Masih, aku membaui suratmu dengan bodohnya. Tiada lagi baumu. Surat ini sangat harum. Aku mengeja isi suratmu. Tak ada lagi tulisanmu yang dulu. Namamu bersanding dengan nama perempuan yang entah siapa. Belum berani mataku menangis. Kabarmu lebih mengerikan daripada kabar kotamu.



***

Kamu semakin sering mengirim surat ke rumahku sejak berumah tangga dengan wanita pilihanmu. Kubaca dengan sabar pucuk demi pucuk suratmu yang amplopnya selalu melekat dua perangko 2000 dan 1000. Tentang anak laki-lakimu yang tampan sepertimu. Tentang pekerjaanmu yang banyak kemajuan. Tentang istrimu yang dari Padang tapi pintar memasak rawon kesukaanmu. Tentang aku?



Aku mengaku kalah di desa dan memutuskan merantau sepertimu. Aku juga ingin sukses sepertimu. Aku betah sekali di sini dan tak mau buru-buru pulang untuk kawin.

Kamu tak perlu lagi mengirim surat ke rumahku. Tak usah mencemaskanku. Aku baik-baik saja.





Dari sahabat kecilmu



Riyadh, KSA, March, 31, 2002



***

JKT, 12/05/12, 23.53



Postingan Populer