129. Kado untuk Stefani (episode akhir)


Asma kronis. Penyakit menahun. Itulah jawabannya. Jawaban yang kalah semarak dibanding kicauan-kicauan sampah di Twitter. Kurang memuaskan bagiku. Terlebih tentang rumor kematiannya akibat dicekik roh jahat dari Andrew. Yang terakhir adalah rumor yang aku ciptakan sendiri hanya karena dia menyampaikan pesan yang sama antara aku dan Marisa. Wo yao qu, wo bu yao zai di chu [aku ingin pergi, tak mau menginjak bumi]. Lalu berkembang di benakku akhir-akhir ini penyebabnya yakni Marisa. Kusangka menghilangkan kalung milik Andrew sehingga mati menyedihkan.



Segalanya patah. Robek. Itulah faktanya ketika aku membaca salinan berkas VeR (Visum et Repertum) yang diserahkan Ibunya Marisa. Anak itu ngeyel waktu dicegah keluar oleh Ibunya sebab cuaca di luar dingin. Kondisinya sedang memburuk. Bantahannya berakhir maut demi perayaan valentine yang menyesatkan pikirannya.



"Marisa nggak pakai perhiasan emas waktu itu. Paling aksesori gelang plastik yang dibeli di Nico Nico Intimo." Ibunya ramah. Ia tak curiga dengan pertanyaanku yang setengah menuduh putrinya.



Aku mengundurkan diri usai suamiku habis mengunyah tiga donat yang tersuguh. Masa-masa serius dia masih sempat menikmati lezatnya makanan.



"Kamu malah makan." Protesku di mobil.

"Donat secengan lebih enak dari J-Co ha ha ha...." Sebutir meises menempel di bibirnya.

"Nggak menghormati orang susah."

"Lho? Dikasih makanan di meja ya harus dimakan dong. Kalau nggak namanya nggak menghormati. Tidak suka. Tidak enak.” Kujewer telinganya sampai dia bilang aduh dan ampun.



TIN!

Ada city car hendak masuk ke garasi saat kami tengah berusaha keluar. Anak muda. Diduga cowok yang menyaksikan bayonet malaikat maut melesak ke dada Marisa. Aku menahan tangan Tom di stir.



"Lihat nopolnya. 9342. Kombinasi angka pada rokok Dji Sam Soe yang dibakar setan kemarin malam." "Ah lebay lu kayak detektip aja. Rokoknya juga amblas. Padahal sudah kusimpan di stoples."

"Nanti kita buntuti dia!" Aku sangat membara dan bergelora.



Di lantai aspal nan sepi, Tom berhasil menghadang dia dari depan. Tak pelak terjadi insiden tabrakan. Tidak parah. Rasanya Tom butuh belajar banyak dengan pebalap GP sekaliber Rio Haryanto.

"Ng***** lu!!!" Si pengemudi memaki kami.

"Ko**** bau lu!!!" Wah payah jika Tom begini. Rencanaku bisa kandas.



Kuhampiri sang pemaki. Sajak maaf untuknya kuatasnamakan suamiku yang brutal bagai di negeri mimpi. Kujabarkan maksud kami. Dia melunak.



"Betul. Marisa menyerahkan kalung itu pada saya." Cukup membanggakan kejujurannya.

"Bersedia kalau saya beli kalung itu dua kali lipat?" Apa air liurnya menetes?

"Nggak. Itu kenangan terakhir saya dengannya. Priceless." Gagal. Strategi antipenuduhanku dilepehnya lonjong-lonjong.

"Memang kenapa kepengin kalung ini? Di toko emas banyak." Kata-katanya keluar bersama kalung tersebut dari tas laptopnya. Pemuda yang ternyata bernama Fiyan itu segera membenamkan kalungnya. Selaput air di mataku menebal saat kutatap selayang pandang kalung itu. Pecah. Entah bagaimana.



"Karena dia cici penjual emas yang paham emas mana yang berkualitas premium." Tom membelaku.

"Tetap saja. Takkan saya lepaskan." Fiyan benar-benar keras kepala.

**

Apakah wanita tak pernah mau bangkit dari masa lalu? Jika memang iya, wanita itu adalah aku. Kaki kananku telah berpijak di garis masa depan. Kaki kiriku masih terbelenggu rantai masa lalu. Terlalu cepat tamat untuk tak terselesaikan. Juga begitu cepat bersambung untuk diselesaikan.



Bersama tokoh kamu yang baru. Siapkah aku berbahtera dengan kamu yang baru? Belum, Tom. Kamu yang baru hanyalah pelarianku. Plester. Nafsu badaniyah belaka. Gula-gula manis bergagang berlian. Wanita lebih memilih mengemut berlian, Tom. Bukan ular nagamu.



Otakku masih awas meraba-raba monumen kenangan tanpa tanggal denganmu, kamu yang lama. Ruangan lama. Di bangku taman itu aku sekali mengejek posisimu. Kugantikan dengan pria kedua. Karena kamu punya apa, Andrew, untuk cinderella-mu ini? Adakah roti dari bahan baku cinta yang diolesi air liurmu, lalu mengenyangkan lapar? Kamu tidak pernah mau tahu di mana letak pergumulan logikaku sebagai wanita lantaran kamu sering menyakitiku sebagai wanita beremosional.



Emosi dan logika berjumpalitan mengaduk segelas jus jeruk yang sudah dua jam gagal kusedot. Di detik akhir aku menyerah pada dahaga di mal ini. Sarang manusia yang riuh bergemuruh. Banyak pasangan muda tertawa girang mendampingi putra-putri mereka di zona permainan seraya menunggu gulungan film diputar di gedung teater.

Aku nyatanya seorang diri. Dua karcis nonton aku robek. Rahayu urung menemaniku. Mertuanya mendadak bertamu. Dia dua kali memesan permaafan dariku. Sahabatku yang tak mau menghakimi dosa-dosaku. Orang pertama yang menjemput air mataku untuk Andrew.



Everybody needs a best friend in this world

We all need one good thing in this cruel cruel world

That we can count on all of our lives

You sounded so alone last night and I could not help but cry

I wanted to reach out to you and just make everything all right

I wish that I could show you just how much I truly care

All my life I promise to be there

**

Aku tak sabar menunggu kepulangan Tom. Ia minta bantuan pada Mas Luki supaya gagasan rencananya berjalan halus. Tak mengerti pertolongan jenis apa yang diberikan ahli supranatural berawakan tinggi itu. Apa pun usahanya, itu lebih baik daripada dia dan aku menuduh Marisa sebagai pencuri lalu menunjuk Fiyan si penghilang barang bukti atau justru penadah. Ekstrem. Kami hanya punya saksi anak-anak, di bawah 18, dan dia Jo. Kami tak tega menggiringnya ke pengadilan. Bukan nilai ekonomi yang aku tuntut dari seuntai kalung itu, melainkan nilai kenangan di tiap karatnya. Harapanku, Tom kembali membawa apa yang aku cari. Andaikata tuntas dan selesai, aku yakin teror-teror gaib akan sirna. Takkan lagi ada jin Andrew, setan Mei Mei, suara kecipak air di toilet, dan apa saja yang selama ini terasa mendecakkan jantung; semua itu bersekutu dalam satu komando.



"Kakak." Panjang umur. Panjang kepang. Makhluk yang bersangkutan bersuara.

Aku mencoba mengendalikan rasa takut. Rasa dalam diri sendiri. Harus ditaklukkan. Walau tetap waspada. Kutiti jengkal per jengkal mendekati lukisan. Matanya berkedap-kedip. Aku tekan ketakutan yang menggelembung. Dia hanya entitas makhluk sama denganku.



"Apa maumu?" Diam. Malah terisak.

"Hai istriku yang jelek!" Panggilannya bikin aku lompat. Suamiku yang sipit. Auranya positif dan prospektif. Ia memegang sesuatu. Keberhasilan.

"Ini, simpan baik-baik," ucapnya riang. Aku berjingkrak girang. Bernyanyi da di du di da.

"Bagaimana kamu bisa meraihnya dari tangan Fiyan?" Bikin penasaran!

"Azimat bermahar 500 ribu dari Mas Luki, yaitu gendam." Ia memperlihatkan semacam batu kecil. Masih okultisme.

"Gendam?"

"Mix antara pelet dan hipnosis, kurang lebih."

"Sebuah kejahatan," gumamku.

"Aelah, pencuri dilarang menyalip pencuri bro!"

“Xie xie.” [terima kasih]



Tangan jailnya menepuk bokongku. Ia berlalu, tertawa puas, melepas bajunya.



Kalung emas 10 gram 20 karat tanpa liontin. Tentu tak sebanding disejajarkan dengan kalung valentine kado dari Tom. Ini pengikat emosional antara aku dan Andrew. Pudarlah terlutuh di kain yang terkembang melayari perjalanan kami. Untuk menit ini. Walau noktah merah kesumba melekat kuat dalam serat sejarah. Dia menggantung napas terakhirnya di temberang pemenggal nyawa sewaktu kami terbalik menabrak karang melintang.



Bayangan Andrew meluntur terurai cahaya tanwarna. Terakhir mukanya tak biru pasi lagi. Senyum Mei Mei pun melengkung gagu. Air matanya jatuh terburai di sungai. Tak ada lagi terang di belakang bayangan. Tiada lagi gaduh di tengah keheningan.

**

Aku menghidupi kenangan

jelmaan aksara di marmer hitam

pada nisan di gunduk pusaramu

menabur kembang hidup

agar namamu hidup

bukankah kenangan akan hidup bila segalanya mati, sayang...

namun butuh saksi hidup untuk mengenangnya, cinta...



ingatkah engkau tatkala kita menerima hosti suci dari tarbernakel?

hosti lapuk! keluhmu

selapuk cinta kita

nanar matanya menerawang pada diam

aku melipir ke malam

tersisa kelam



Hari ini aku ringan berjalan. Kutebar senyum. Kukabari suka. Membagi kasih. Tiap pengamen dan pengemis menerima uluran sedekahku. Tak seperti biasa, bila kaca film terketuk hati terpaksa terbuka.



"Masak apa kau?" Tanyamu dari kantor.

"Beef steak," asal kujawab. Spontan kamu terpingkal. Nyaring. Ingin kecelupkan ponselku ke wajan. Aku tahu kamu sedang mengurangi lemak daging supaya program fitness-mu sukses. Ah, gombal kamu, Tom, ha ha ha. Punya perut six pack adalah tahayul bagi orang sibuk macam kamu.



Obrolanku dengannya mengganggu aktivitas masakku. Malam ini akan ada menu yang tak terlalu berlemak. Tahu mapo, capcay, mi hijau, dimsum (dianxin) aku sajikan. Tapi bukan dim sum fang zau (ceker ayam), cukup bakpao kacang hijau. Penutupnya ialah gelato, bukan es krim yang berlemak. Sebagian kumasak dibantu bibi pembantu. Sisanya aku membeli di luar.



"Mama mia, amazing birthday celebration!" (Mama mia, selebrasi ulang tahun yang keren). Komentar Tom ketika baru pulang.

"Ulang tahun suami kolokan, he he he," gurauku

"Biar kolokan tapi pahlawanmu, ha ha ha." Dia naik ke kamar untuk mandi dan berdandan.



Dia mengamatiku serius. Membuatku tersanjung. Jangan-jangan little black dress-ku yang tak berpundak. Apa pikirannya kalau busananku berlebihan? Persis perempuan berkebaya dan berkonde lantas cuma makan malam di rumah bersama suaminya, begitu kan? Tak masalah kan seorang istri berias tampil anggun demi suaminya.



"Selamat menikmati." Kupersilakan semangkok mi hijau untuknya.



“Bu yao, wo chi bao le,” [不要, 我吃饱了. Tidak, aku sudah kenyang] tolaknya seketika.

"Kenapa?"

"Buang dulu kalung itu." Ia memerintahkan hal yang tak ternyana. Hatiku tersayat.

"Memangnya kenapa?" Air mukanya mendidih. Tidak ada pribadi Tom di sana. Terkaan-terkaanku belum menemukan titik hampir.

"Serahkan sini!" Bentakannya menohok. Membelalak. Aku buru-buru mematuhinya. Rupanya aku takut pada wibawa lelaki.



Ia mengaum murka dan mencampakkan kalung itu ke lantai. Keras sekali. Andai yang ia lempar berupa telur bercangkak baja pasti remuk. Seremuk hatiku. Kini kepalaku tersunjam lagi ke tanah. Lagi dan lagi.

"Kamu jahat!!!" Tangisanku tak bersuara. Mimpiku yang berlatar surga sedang terwujud. Ia sungguh kejam. Merobek perasaan Andrew.

"Besok aku nggak mau melihat kalung itu di lehermu. Deal?" Ia pergi. Bayangannya tampak bagai anak setan berlidah api yang memegang tombak trisula.



**

"Hai Jeng, come in.” [ayo masuk"]. Ajak Rahayu ketika aku di depan pintu rumahnya. Aku dituntun ke kamar tidurnya.

"Drink what? Tea, coffee, juice, hot chocolate; which one?"

"Nggak usah."

"Please, you need it."



Mataku menjelajah kamarnya, terpaku pada foto pernikahannya. Wajahnya bahagia, juga suaminya dalam bingkai itu. Mereka berdua berpacaran sejak SMA. Meski kerap putus-nyambung, kekuatan cintalah yang mengikat mereka dalam pernikahan. Ada sebentuk iri membuncah di dada.



Ia tiba membawa nampan. Ada secangkir teh hijau dan kudapan roti vla tabur almond. Menggiurkan, namun tidak untuk kesempatan ini. Suasana jiwaku berantakan. Pikiranku lagi kacau. Apalagi semalam Tom minggat dan belum juga pulang. Ia foya-foya merayakan ulang tahunya dengan kawan-kawannya. Ia tidur di hotel dengan perempuan nakal. Begitulah isi pikiran galauku.



"Ayu, kira-kira kenapa dia? Dia enggan menjelaskannya."

"Kamu harus peka, Jeng, sebagai perempuan," timpalnya singkat.

"Peka?" tegasku kurang paham. Kuminum sedikit teh hijau agar pikiran lebih rileks.

"Ember (memang). Maksudku, kita sebagai pere harus peka dalam membaca perasaan lelaki. Mungkin aja Mas Tom yang cucok itu cemburu karena kamu pakai kalung dari Andrew. Lelaki mana sih, Jeng, yang gak jealous." Rahayu benar. Aku tidak peka. Aku tak mau peka, selain pada tiap keping uangnya yang dihabiskannya.

"Ayu, aku amat menyesal." Banjirlah bajunya dengan air mataku. Aku tergolek lemah di dekapan sahabatku.

"Weep as much”. Biar lega." [Menangislah sepuasnya].

"Aku sudah dua kali mengecewakan lelaki aku benar-benar wanita pendurhaka...."



Seolah air mataku terus menderas dan merintik. Berhamburan. Aku tak kuat berdiri.

**

Tiga hari kulewati hidup tanpa lawakan garing ala Tommy. Ia mendiamkanku. Keperluan apa pun ia kerjakan sendiri. Ia pernah mengenakan dasi motif batik dengan kemeja kuning. Menurutku itu kurang sesuai. Aku tak berani meralatnya.



Tubuhku yang rajin kurawat dengan lulur puteri keraton dan wajahku yang kulumuri ekstrak caviar tak lagi ia sentuh. Ia mudah merajuk. Itulah sifat aslinya yang keluar sesudah tiga bulan menikah dengannya. Bagaimanapun itu, aku telah memilihnya. Juga aku telah memilih untuk dipilih. Dia ada di depanku sekarang. Aku harus melangkah maju. Melupakan masa lalu yang terserak di belakang.



"Mas Tom, mau dong digendam. Aku rela diapa-apain," godaku diiringi gestur genit. Aku ingin melumerkan kebekuan. Ia sedang memainkan PSP di tempat tidur. Kemudian terpingkal-pingkal mendengar ajakanku. Aku menggenggam kunci yang menggembok keintiman kami. Aku tidak betah melakukan aksi bisu di rumah.



"Jangan panggil Mas Tom, cukup Tom aja." Katanya di akhir tawa. Kudekati dia. Tiduran di sisinya. Meraba perutnya.

"Nanti aku dicap istri yang tak hormat." Kusingkirkan portable game dari tangannya.

"Ya enggaklah. Lagian aku maunya disapa Ayah Tom. Bila kita sudah punya anak," harapnya berbinar.

"Dan aku dipanggil Bunda Fani. Cetak tebal Bunda." Kami saling berpelukan. Kurindukan kehangatan badan laki-laki. Tiga hari serasa tiga tahun kedinginan

"Dalam kurung buntingin janda, ha ha ha...." Mulai lagi candaan garingnya. Lengannya kucubit hingga merah. Malah ia menindihku. Aku sesak menahan berat raganya.



"Mana kalung itu?" ungkitnya

"Kenapa kamu tanya lagi? Sudah kulupakan. Kalung itu ada di Jonathan. Kusuruh ia menjaganya," terangku demikian.

"Kamu yakin melupakannya?" Tanyanya menyelidik. Ia duduk.

"Iya," balasku ringkas, antara yakin dan tidak.



Dia turun. Menuju ke lemarinya. Mengambil bungkusan hitam. Menentengnya kemari.

"Ini kado untuk Stefani dari... Andrew!" Dikeluarkan kotak perhiasan. Dibuka. Seuntai kalung. Aku belum mengerti apa maksudnya. Napasku tersumbat. Menebak, apakah ini kejutan atau lelucon belaka?

"Apa ini?" Dua kata dan selengkung tanda tanya yang sanggup kuujarkan.

"Itu yang original. Yang disimpan Jo cuma duplikat.”

"Jadi kamu cuma akting, Tom? Kamu jahat!" Aku menangis deras antara bahagia dan kesal. Akting sinetronnya Tom sungguh mengecoh. Menyebalkan.



"Aku bilang kan simpan baik-baik, bukan dipakai. Masa lalu nggak mesti dibuang, simpan saja, tapi tak perlu diletakkan di depan." Tumben Tommy menyabdakan kata-kata mutiara untukku.

"Tom, maafkan aku ya. Wo ai ni.” [我爱你 Aku mencintaimu]

“Wo ye ai ni.” [我也爱你 Aku juga mencintaimu]



Aku meraih tangannya. Menciumnya dengan takzim. Aku telah merepotkannya untuk melalui dan memecahkan misteri yang amat mendebarkan selama sebulan ke belakang. Pasti ia tersunu percikan api cemburu manakala sering kusebut nama Andrew.



"Hayo, katanya minta digendam." Ia mengelitiku. Meronta-ronta manja dalam dekapannya. Jeritan-jeritan geli menciptakan gelombang longitudinal yang bermedium ke seluruh udara kamar. Gaduh. Berisik.

"Nggak mau ah. Entar aku disuruh gaya-gaya cabul di ranjang sutra, ha ha ha."

"Mulai 1-2-3!"



TAMAT

Jakarta, 3-8 Maret 2012

*****

Komentar

Postingan Populer