248. Misi Batal Perang dalam Satu Babak [1917 movie]
Film one take bukan barang baru di industri. Sebut saja film yang belum terlalu lama, Victoria, penonton diajak ikut mabuk bersama Victoria dan beberapa lelaki yang baru dia kenal malam itu juga hingga berakhir petaka. Petaka sebab Victoria terlalu mudah memercayai orang lain yang baru dikenalnya seperti penonton yang baru mengenalnya.
Mungkin di sini istimewanya film garapan Sam Mendes dengan sinematografer Roger Deakins. Yaitu film perang! Film perang termasuk film yang punya nilai produksi besar dan kompleks, dari pemain yang jumlahnya banyak sampai teknik kombat di medan perang. Bayangkan kalau dilakukan dengan teknik one shot tanpa kliper yang terketuk dan sutradara teriak cut? Menurut IMDB, Victoria termasuk salah satu film one take/shot murni, tanpa (trik) penyuntingan. Tidak dengan 1917, mereka masih menggunakan suntingan bagai Birdman. Seperti menit-menit awal ketika dua kopral Will dan Tom bertemu Jenderal Erinmore, terlihat jelas kedua tokoh kopral menyusut menjadi siluet dan gambar berpindah penuh ke jenderal yang tengah memberi arahan. Juga saat kamera mengikuti kedua kopral ke medan perang, meski tanpa putus, ada trik “cut” ketika kamera terhalang tumpukan pasir.
Memang tidak terlalu istimewa. Tapi sepertinya tujuan sutradara American Beauty itu punya keinginan melibatkan penonton ke medan perang mengikuti Will dan Tom sebagai kurir pembawa pesan untuk Kolonel Mckanzie agar mengurungkan serangan yang bisa berakibat tragedi. Tapi perjalanan kedua kopral tidak mudah. Penonton memerhatikan mereka dari ketinggian yang sejajar tanpa syut-syut terbang (pakai drone). Merasakan debar-debar, waswas kali-kali salah satu dari mereka disasar penembak jitu. Justru salah satu dari mereka mati dengan cara yang ironis, ketika hendak menolong prajurit musuh! Dari medan perang kita seperti diajarkan doktrin baku antara membunuh atau dibunuh.
Ada perang, ada darah. Bukan darah di sini yang memberi efek ngeri, melainkan jasad-jasad tentara yang mati dengan tubuh memutih dan dimutilasi oleh tikus-tikus kelaparan. Adegan kontras terlihat dalam satu tarikan napas, saat Will usai terseret arus sungai (dan penonton seolah berenang bersamanya) dihamburi kelopak-kelopak bunga sakura dan mayat-mayat tentara yang mengambang. Salah satu visual yang bikin merinding adalah suasana reruntuhan gedung ketika fajar menyingsing bersama muntahan peluru mendesing. Lampu sorot helikopter dan bayangan gedung memberikan efek paling dramatis ketika Will berusaha berlari menyelamatkan diri demi menyampaikan pesan ke resimen yang dipimpin Letkol Mckanzie.
Lalu apa yang penonton bisa dapatkan dari teknik one take ini? Tentu proses. Dari karakter William Schofild yang tadinya bertekad lembek dan sinis dia berubah dan berkembang. Bagaimana panjang dan susahnya William bertemu dengan Letkol Mckanzie melewati parit panjang yang disesaki para prajurit dan gempuran bom yang memekakkan kuping. Menit demi menitnya kita merasakan. Memang dengan kronologi sepenggal ini sulit mengembangkan tambahan drama-drama klise yang menguatkan emosional sang tokoh. Apalagi spectacle perangnya tidak seakbar Saving Private Ryan, contohnya. Itulah watak film yang pernah memenangi Best Drama di Golden Globes 2020, film tentang orang yang bertekad kuat meski orang-orang memandang rendah dan tak percaya dia akan berhasil.
Seperti kata seorang Sikh, tentara Inggris, yang mendoakan agar Will sampai di sana dengan selamat.
Komentar