231. Gombalan Dilan, Pengorbanan Milea [Dilan 1991]
Melanjutkan kisah-kasih rayuan pulau gombal ala Dilan yang bikin enam juta sekian orang Indonesia mabok gombalan, Max Pictures tentu lanjut menjual barang paling lakunya. Dilan 1991. Kronologi setahun setelah peristiwa film pertama, Dilan 1990.
Kali ini Milea sudah potong pita pacaran dengan Dilan. Tidak ada Susi lagi yang dulu sempat mengincar Dilan. Nandan pun cuma teman biasa. Kang Adi jelas cuma tampil lucu, tapi lebih mending daripada film pertamanya. Dan kemunculan perdana bapaknya Dilan, Letnan Ical, yang angker itu, katanya di novel dia pernah nembak lampu tetangganya yang terlalu silau. Letnan Ical diperlihatkan sejinak merpati. Juga kemunculan pak Dedi, guru bahasa Indonesia yang menyukai Milea. Versi layar lebar Dedi kesannya lebih lucu ketimbang elegan.
Dilan memang mukanya selembut pantat bayi, tapi hobinya ngegeng motor dan tawuran. Milea diposisikan sebagai perempuan penyelamat yang bisa mengubah sifat jelek lelaki. Milea cuma perempuan muda yang naif. Dia masih remaja, jangan teror dia dengan teori patriarki. Dia tersipu malu ketika digombalin. Hatinya luluh saat dipuji cantik. Dan menangis tiga kali sehari karena takut kehilangan Dilan.
Menonton Dilan 1991 seperti menonton film horor tanpa setan. Tetap masih ada komedi dan gombalan yang kuat. Artikulasi Iqbaal juga lebih luwes ketika menggombal walau nggak semeledak film pertamanya sebab fokus plot Dilan 1991 adalah pasca-PDKT. Maksudnya horor tanpa setan, ya tidak ada adegan tawuran dan pengeroyokan. Memang skenario layar lebarnya patuh banget dengan sumber aslinya: sudut pandang Milea (pov). Jadi penonton melihat dari sudut pandang Milea. Apa yang tidak dilihat Milea tidak akan dilihat penonton, termasuk tawuran dan pengeroyokan. Nggak seperti Twilight Eclipse di mana novel dari sudut pandang Bella Swan tapi penonton masih bisa melihat persengkongkolan Jasper Hale, vampir kencur, dan Jane, budak Volturi—di luar mata Bella.
Barangkali keputusan sutradara dan produser agar adegan tawuran nggak disalahpahami sebagai film yang ngasih contoh buruk. Jadi sensor dimulai ketika naskah diketik. Jangan harap adegan cipokan Milea dan Dilan di kursi beranda masuk mata kamera.
Sepanjang film, Milea sering menangis. Dilan tidak. Lelaki jangan menangis. Makan ati, kata Milea. Begitu mahal harga gombalan mesti dibayar dengan kepedihan batin. Perasaan ambivalen Milea lebih besar, namun egosentris Dilan sebagai lelaki lebih dominan. Dilan hanya nggak mau dikekang. Sementara Milea bahkan rela putus asal Dilan selamat sebagai seorang remaja dengan cita-cita yang masih panjang.
Bosan... mungkin itu sifatmu...
Benci... bila ingat dirimu
Bosan... terserah apa maumu...
Jalanku masih panjang…. — Sandiwara Cinta, Nike Ardila.
Ada yang luput pada riasan Iqbaal ketika dia sudah magang di Jakarta tahun 1997. Dia masih tampak bocah dibandingkan Milea dengan rambut ekstensi dan make-up nya yang lebih dewasa. Busana gaya retro terlihat jelas pada kemeja Yugo, sepupu jauh Milea, yang dimasukkan ke celana denimnya. Dan setelan motif bunga yang dipakai mamanya Milea, diperankan Happy Salma.
Pada tata musik, Dilan 1991 nggak murni membawa keriuhan penanda zaman. Misal lagu era 80 akhir dan 90 awal macam Fariz RM, Dian PP, Dedi Dukun, dkk. Nggak seperti film Hollywood yang gemar memainkan musik latar retro pada film jaman now-nya. Seperti Stayin’ Alive milik Beegees di Happy Death Day 2U dan Africa dari Toto di Aquaman. Sebagian besar musik latar mengiringi kesedihan Milea terlampau berisik dan kurang akrab di telinga (memang baru dibuat?). Musik pengiring kesedihan Milea nongol tiap lima menit sekali. Patut apresiasi untuk musik latar ketegangan yang diramu tepat guna.
Komentar