140. Tarian Pemanggil UFO
Abu Sudar
Kawan-kawanku bilang kalau aku inigila karena pernah mengaku melihat UFO. Lantas apakah harus kutukar kedua mataku ini ke mata mereka agar mereka percaya bahwa makhluk luar angkasa itu ada dan sedang melancong ke planet biru ini. Jika ucapanku sekadar angin kentut, aku sudi terjun dari gedung sekolahku yang tiga lantai ini.
*
Aray, teman semejaku, menyenggol lenganku. Rambutnya yang kribo memang mirip brokoli yang dijajakan di Pasar Mayestik. Ia tidak mengolok-olok atas pengakuanku melihat UFO. Namun ia selalu bertanya perihal benda janggal itu.
“Mike, Sandy,juga Hardy pengen menantang lu gan,” ujarnya bermimik serius. Jerawat dijidatnya nyaris meledak.
“Terus?”
“Kalau elu bisa membuktikan UFO ituke mereka, maka motor mereka bertiga bakal di jual dan duitnya disebar kelapangan untuk lu ambil gan.”
Wuih, sungguh menantang danprovokatif. Aku langsung saja mengiyakan taruhan itu tanpa berpikir macam-macam.Aku benar-benar di atas angin. Kedua tanganku terlipat di dadaku. Dalam sekedipanmata, aku kanjadi jutawan muda hasil judi. Ya hanyauntuk orang-orang yang membayar terlalu mahal akalnya yang mundur, lalu merekaakan berlutut di depan bokongku.
Galih Subroto. Itu namaku yang terukir di sebuah kartu peserta ujian akhir semester. Aku benar-benar tak bisa konsentrasi untuk belajar sementara pikiranku terus saja berjumpalitan.Bagaimana membuktikan ke tiga preman ingusan itu bahwa pesawat itu pernah melintas di atas rumahku. Saat itu aku sedang berdansa di balkon diiringi Blackor White-nya Michael Jackson. Pupilku membesar. Aku turun, lantas mengejar benda berwarna merah itu yang mendarat di pinggir kali tak jauh dari rumahku.Aku bersembunyi di balik belukar kering, memastikan apakah ada seorang alien atau bahkan makhluk jadi-jadian berkuping panjang mirip Yoda. Barangkali jenis Nordics yang mirip manusia itu.Ternyata cuma UFO ukuran mini yang mendarat. Aku tak mau terjadi ini-itu, begini-begitu, sehingga aku mengibrit ke rumah.
Di ruang laboratorium IPA, Sandy mendekatiku. Minyak wanginya mirip aroma om-om. Mungkin ia memakai milik kakaknya.
“Hey kumis kucing, UFO itu cuma pesawat teknologi Jerman yang dirancang Schriever, Habermohl, Mierth, dan Bellanzo pada Perang Dunia II,” Sandy bersungut-sungut menyebutku kumis kucing dengan telunjuk menempel di kumis puberku yang masih tipis.
“Hah? Ente percaya hoax?” sergahku mencengkram tangannya. Kami memang jawara kelas sejak dulu—antara 1 atau2—hingga memasuki program IPA di SMA favorit ini. Dia adalah sahabat kecilku.Dan dalam satu dekade terakhir, baru kali ini kami berseberangan lantaran kesaksianku melihat UFO yang ditolaknya.
“Andaipun itu hoax, ane lebih percaya itu daripada mengamini alam pikiran si kumis kucing macam ente!”lecehnya.
*
Aku, Aray, dan ketiga preman ingusan sudah ada di city car milikku tak jauh dari TKP tatkala aku memandang UFO tempo hari. Tak ada crop circle tepat pesawat itu berpijak sebab mungkin kontur tanah di sini keras dan ukuran UFO itu yang lebih mini, sekitar berdiameter 5 m. Jadi aku tak bisa membuktikan pada mereka jejaknya. Pun mereka membantah usai nonton video Alien Autopsy berdurasi 17 menit itu. Itu hanyalah rekayasa belaka, sebagaimana kita hanyut pada cerita fiksi-ilmiah semacam Jurasic Park dan The X Files, kilah mereka keras.
Langit malam ini cerah semringah, namun tak dengan suasana jiwaku yang kalut. Bisakah aku buktikan pada mereka akan pesawat gemblung itu mendarat di sini. Hah, kampretlah!! Tetapi masih ada segumpal keyakinan bahwa pesaswat itu bakal muncul walau hanya melintas kerlap-kerlip di langit yang gelap.
“Malam yang bikin bosan,” keluh Michael atau Mike, ”Lu punya gulali nggak, Lih?”
Aray melempar sekeping biskuit kewajahnya. Ia kaget, terperanjat lalu mengambil biskuit yang nemplok dijidatnya, lantas ia caplok.
“Sebentar lagi kita akan melihat sikumis kucing ini terjun dari gedung sekolah bermodalkan parasut. Parasut yang mengembang oleh geloranya, hahahahaha,” kali ini Hardy yang mengungkit-ungkit hadiah sayembara itu.
“Woi, lihat itu!!!” suaraku merobek angkasa, menyumbat bacot Hardy yang masih menganga.
Kami bangkit dan secara serentak keluar mobil melihat benda bersinar di langit berwarna oranye itu. Kami memandangi benda itu dari jarak jauh atau istilah ufologinya Noctural Lights. Yang mana UFO itu terbang cepat kemudian berbelok dan raib terselimuti awan malam.
“Wah, apa itu?” Sandy tercekat dan tercengang mungkin.
“Ah, itu cuma bola api terbang kiriman dukun!” tingkuh Hardy, senyumnya melecehkan.
“Itu cuma kunang-kunang raksasa!!! Kita ingin UFO sungguhan, mendarat di sini lalu kita terbang ke seluruh alam semesta, hahay!” Mike tertawa lebar, serpihan biskuit menghitamkan giginya.
*
Aku lelah. Aku belum mandi sedari sekolah. Ingin ke Planetarium malam ini, melihat angkasa. Barangkali ada UFO melayang di sana berputar-putar turun ke bumi. Aku berbaris bersama kaum yang percaya fantasi melawan kaum yang haus logika. Andai saja alien ada di kitab suci. Mereka akan percaya meski tak pernah melihatnya. Seperti malaikat yang gaib. Mengapa mereka percaya. Ah itu cuma agar mereka tak dianggap kafir!
Aha! Aku punya gagasan cemerlang untuk memancing UFO dan ufonot itu. Usai penampakan di langit tiga hari lalu yang kurang memuaskan kami, tekadku kuat untuk memanggil UFO itu. Bukan dengan sandi morse ataupun telepon seluler. Ya,aku teringat tarian pemanggil hujan. Dan bilamana itu sukses, betapa puasnya aku bermandi jutaan rupiah sementara para pecundang berlutut di depanku.
*
Ini menggelikan sekaligus menyeramkan,manakala aku mesti menari di bantaran kali untuk memancing pesawat siluman itu dengan gaya Michael Jackson. Ya mungkin UFO menyukai musik pop ala MJ hingga aku bertemu dengannya untuk pertama kali di balkon. Dan di sini aku meletakkan mini compo yang memutarkan cakram padat album MJ. Hentakannya yang rancak bikin aku menari-nari. Sensual. Tubuh remajaku yang ranum sangat seksi dalam remang ini. Aduhai….
Kami berlima suntuk dalam mobil. Jenuh. Kantuk menjadi tamu keenam di antara kami. Setelah mereka puas mengolok-olok tarian suramku, aku tentu belum puas tanpa kehadiran piring melayang itu. Aku kan bayar janjiku: terjun dari gedung sekolah. Oh Galih Subroto… kau masih muda.Janganlah keras kepala. Kau pasti menyesal.
“Ya sudahlah, ayo pulang!” Sandy mengajakku pulang. Dia yang kalah atau aku yang kalah?
“Tak ada yang perlu dibayar, ya kan bro?” serunya ke anak-anak yang lain. Dan mereka setuju.
“Wow, kita mundur?” tandasku sambil meremas setir mobil.
“Ya, mundur untuk maju.”
Aku bergeming. Aku membeku selama 30 menit. Mungkin diundur 30 menit bisa menciptakan peluang bertemu target kami.
“Baru kali ini kita menjauh kan, hanya karena hal misteri: UFO brengsek,” ia memegang tanganku, hangat, dan bergetar. “ Ane pengen besok kita bersatu lagi, main futsal bareng, main Angry Birds, dan saingan dapat juara.’
DUKK!!!
Belum sempat aku mencerna uneg-unegnya, aku dan mereka dikejutkan oleh suara dan guncangan. Horor. Menggoyang mobilku ke kanan-kiri. Meteorit jatuh? Kami saling tatap dengan muka sepucat kuntilanak.
Mike beranjak dan melihat apa yang terjadi. Ia kembali dengan muka sedingin salju.
“UFO!!!”
Spontan kupacu sedanku mengebut. Kukeluarkan jurus berakselerasi bak Sebastian Loeb. Mulus, lancar, tanpa hambatan. Kami selamat.
“Lu berhalusinasi kali Mike!” tanya Hardy penasaran.
“Mana mungkin UFO! Aneh, ente. Ya mobil Galih hancur! Dodol ente!” sanggah Sandy jumawa.
“Ya kan kata Galih UFO-nya mini.Barangkali dia cuma menempel, tidak menekan mobil,” bela si saksi, Mike dengan amat yakin.
Kecuali aku, mereka bertiga masih saja menampik dan mementahkan pengakuan Mike. Gaduh sekali. Perang diplomasi malam ini.
“DIAM SEMUA!!!” hardikku panik.
“Lihat, mobil gue terbang kan, nggak napak aspal.”
Kami sungguh ketakutan, anjlok suhu tubuh kami pada malam kelabu ini. Mencekam, karena makhluk itu datang terpancing tarianku. Tarian Michael Jackson tepatnya.
“Kita diangkat UFO, alien reptoid.”Sandy percaya itu. Aku menang. Tapi tidak! OhTuhan, tolong kami.
“Kita diculik alien gan, hu huhu…,” rengek Aray. Ia menangis. Mereka bertiga berpelukan seperti hendak disembelih. Sementara Sandy meremas tanganku. Aku terpukul, darahku mogok mengalir.
Semakin tinggi, melayang, berputar-putar. Entah bagaimana, bagaikan ada daya magnet yang mengangkat mobilku. Sekejap saja pasti mobilku akan dihempaskan ke bumi oleh alien keparatitu.
“Lima detik lagi kita mati brooooo…!!!” lirih Mike. Jigongku kecut sudah. Lepas sudah separuh nyawaku.
Makhluk bajingan! Mereka telah membuat teman-temanku mengkerut. Mereka gemetar kedinginan. Tidak! Kami terhimpit oleh kesialan yang mendadak. Tanpa permisi lewat depan mobilku.
BLITZ!!!
Sekonyong-konyong kilat merah menghalangi pandanganku. Tubuhku ringan dan terungkit ke atas. Aku mengapung dalam lautan merah. Ya Tuhan, aku sudah di neraka. Ke mana mobilku? Ke mana kawan-kawanku? Aku terombang-ambing di antara buih-buih cahaya yang menyilaukan netraku. Bingung, ngeri, dan cemas bercokol dari kepala hingga jempolku. Kaos biruku kuyup oleh peluh. Jinsku kian lisut mencekik kulitku.
Obsesiku bertemu UFO terkabul. Makhluk ajaib itu sanggup bikin aku merasakan sensasi yang menakjubkan. Aku bisa melayang tanpa tali, tanpa sayap. Luar biasa! Takkan mampu kulupakan. Ini lebih monumental daripada mencium gadis di bawah umur, di bawah pohon, di bawah sinar rembulan bulan Februari.
Tidak! Aku tetap saja bingung, ngeri, dan cemas. Di mana mobilku? Kado jerih payahku menggapai juara umum. Di mana pula keempat temanku. Kami diculik. Kami akan disandera, dibunuh, otak kami disedot. Kecerdasanku akan dicuri. Mereka bakal merampok ilmu manusia,seperti ilmu fisika, yang ditemukan oleh James Joule, Einstein, Galileo,Pascal, Archimedes, dan banyak lagi. Mereka hendak menguasai dunia. Kurang ajar. Kurang asem! Takkan kubiarkan.
“Aray!” panggilku pada ruang kosong yang pengap.
“Galih!” suara itu menyahut. Suarasi rambut brokoli. Hanya suara.
“Mike!”
“Galih, di mana elu?” balasnya parau. Masih suara saja. Paling tidak mereka masih hidup. Beruntung.
“Hardy!”
“Woi, gue di sini!”
Ya Tuhan, puji syukur, kawan-kawnku masih bernyawa.
“Sandy!”
Sepi.
Sahabat kecilku belum menjawab.
“Sandy!”
Ke mana dia? Di mana dia? Bagaimana dia?
SANDYYYY…!!!”
Jeritanku menghantam sisi-sisi selaput cahaya merah ini. Semakin berpendar, lalu berubah semakin pucat, mengerucut membentuk spot di atas kepalaku. Aku berpijak di lantai putih yang dinginnya mengopek kulit, menembus ketsku. Di mana aku? Dimensi apa ini? Aku diteleport ke planet mana?
Ada sosok tinggi mendekatiku. Ini alien Nordics sepertinya. Mirip di film Battlefield Earth, namun lebih bagus perawakannya. Nordics itu membawa pasukannya. Prajurit kadal! Sebentar lagi aku akan dipancung. Seram…!!!
“Hey boy!” suaranya dalam bahasa Inggris, bahasa manusia. Dia diam-diam kursus di EF. Ya, mereka sungguh mencuri ilmu kami.
“Yes I am.” Matanya biru, rambutnya jingga, tampan. Inikah the fallen angel?
“How are you, boy?”
“I’m bad! Why you did kidnap me, us?!”bentakku sok jagoan. (Buruk! Kenapa kau menculikku, kami).
“No abduction. You all ask forexploring the universe with me, right?” (Tak ada penculikan. Kamu meminta menjelajah alam semesta denganku, kan?)
Kami hanya ingin melihat, dan kalaupun diajak mengarungi luar angkasa tak keberatan. Tapi ini terlalu pagi, masih syok melihat pesawat alien ini yang memiliki gaya sentrifugal terbang secara vertikal. Apalagi mengangkat mobilku tanpa ketuk pintu.
“Yes, then where all four of myfriends?” (Ya, lalu di mana keempat kawanku?)
“One of them jumped from your vehicle,” ucapnya memegang bahuku. (Salah satunya lompat dari kendaraanmu)
Aku tersungkur ke lantai ini. Cakarku menggoresnya, perih hatiku. Air mataku berhamburan, mengristal dan terhampar di sini. Aku berlutut di tempat ini. Aku bersujud di depan bokongku sendiri. Keras sekali kepalaku. Aku menyesal.
Helai per helai air mata ini mengguyur kemarau di sukmaku. Kian lama membasahi dan menggenangi mataku. Tiap pagi, tiap petang, tiap malam, dan tiap kusebut namamu. Aku tak berharap reda. Aku tak berharap melupakan namamu, duhai sahabatku
____
Pernah dimuat di majalah Story nomor 47
Kawan-kawanku bilang kalau aku inigila karena pernah mengaku melihat UFO. Lantas apakah harus kutukar kedua mataku ini ke mata mereka agar mereka percaya bahwa makhluk luar angkasa itu ada dan sedang melancong ke planet biru ini. Jika ucapanku sekadar angin kentut, aku sudi terjun dari gedung sekolahku yang tiga lantai ini.
*
Aray, teman semejaku, menyenggol lenganku. Rambutnya yang kribo memang mirip brokoli yang dijajakan di Pasar Mayestik. Ia tidak mengolok-olok atas pengakuanku melihat UFO. Namun ia selalu bertanya perihal benda janggal itu.
“Mike, Sandy,juga Hardy pengen menantang lu gan,” ujarnya bermimik serius. Jerawat dijidatnya nyaris meledak.
“Terus?”
“Kalau elu bisa membuktikan UFO ituke mereka, maka motor mereka bertiga bakal di jual dan duitnya disebar kelapangan untuk lu ambil gan.”
Wuih, sungguh menantang danprovokatif. Aku langsung saja mengiyakan taruhan itu tanpa berpikir macam-macam.Aku benar-benar di atas angin. Kedua tanganku terlipat di dadaku. Dalam sekedipanmata, aku kanjadi jutawan muda hasil judi. Ya hanyauntuk orang-orang yang membayar terlalu mahal akalnya yang mundur, lalu merekaakan berlutut di depan bokongku.
Galih Subroto. Itu namaku yang terukir di sebuah kartu peserta ujian akhir semester. Aku benar-benar tak bisa konsentrasi untuk belajar sementara pikiranku terus saja berjumpalitan.Bagaimana membuktikan ke tiga preman ingusan itu bahwa pesawat itu pernah melintas di atas rumahku. Saat itu aku sedang berdansa di balkon diiringi Blackor White-nya Michael Jackson. Pupilku membesar. Aku turun, lantas mengejar benda berwarna merah itu yang mendarat di pinggir kali tak jauh dari rumahku.Aku bersembunyi di balik belukar kering, memastikan apakah ada seorang alien atau bahkan makhluk jadi-jadian berkuping panjang mirip Yoda. Barangkali jenis Nordics yang mirip manusia itu.Ternyata cuma UFO ukuran mini yang mendarat. Aku tak mau terjadi ini-itu, begini-begitu, sehingga aku mengibrit ke rumah.
Di ruang laboratorium IPA, Sandy mendekatiku. Minyak wanginya mirip aroma om-om. Mungkin ia memakai milik kakaknya.
“Hey kumis kucing, UFO itu cuma pesawat teknologi Jerman yang dirancang Schriever, Habermohl, Mierth, dan Bellanzo pada Perang Dunia II,” Sandy bersungut-sungut menyebutku kumis kucing dengan telunjuk menempel di kumis puberku yang masih tipis.
“Hah? Ente percaya hoax?” sergahku mencengkram tangannya. Kami memang jawara kelas sejak dulu—antara 1 atau2—hingga memasuki program IPA di SMA favorit ini. Dia adalah sahabat kecilku.Dan dalam satu dekade terakhir, baru kali ini kami berseberangan lantaran kesaksianku melihat UFO yang ditolaknya.
“Andaipun itu hoax, ane lebih percaya itu daripada mengamini alam pikiran si kumis kucing macam ente!”lecehnya.
*
Aku, Aray, dan ketiga preman ingusan sudah ada di city car milikku tak jauh dari TKP tatkala aku memandang UFO tempo hari. Tak ada crop circle tepat pesawat itu berpijak sebab mungkin kontur tanah di sini keras dan ukuran UFO itu yang lebih mini, sekitar berdiameter 5 m. Jadi aku tak bisa membuktikan pada mereka jejaknya. Pun mereka membantah usai nonton video Alien Autopsy berdurasi 17 menit itu. Itu hanyalah rekayasa belaka, sebagaimana kita hanyut pada cerita fiksi-ilmiah semacam Jurasic Park dan The X Files, kilah mereka keras.
Langit malam ini cerah semringah, namun tak dengan suasana jiwaku yang kalut. Bisakah aku buktikan pada mereka akan pesawat gemblung itu mendarat di sini. Hah, kampretlah!! Tetapi masih ada segumpal keyakinan bahwa pesaswat itu bakal muncul walau hanya melintas kerlap-kerlip di langit yang gelap.
“Malam yang bikin bosan,” keluh Michael atau Mike, ”Lu punya gulali nggak, Lih?”
Aray melempar sekeping biskuit kewajahnya. Ia kaget, terperanjat lalu mengambil biskuit yang nemplok dijidatnya, lantas ia caplok.
“Sebentar lagi kita akan melihat sikumis kucing ini terjun dari gedung sekolah bermodalkan parasut. Parasut yang mengembang oleh geloranya, hahahahaha,” kali ini Hardy yang mengungkit-ungkit hadiah sayembara itu.
“Woi, lihat itu!!!” suaraku merobek angkasa, menyumbat bacot Hardy yang masih menganga.
Kami bangkit dan secara serentak keluar mobil melihat benda bersinar di langit berwarna oranye itu. Kami memandangi benda itu dari jarak jauh atau istilah ufologinya Noctural Lights. Yang mana UFO itu terbang cepat kemudian berbelok dan raib terselimuti awan malam.
“Wah, apa itu?” Sandy tercekat dan tercengang mungkin.
“Ah, itu cuma bola api terbang kiriman dukun!” tingkuh Hardy, senyumnya melecehkan.
“Itu cuma kunang-kunang raksasa!!! Kita ingin UFO sungguhan, mendarat di sini lalu kita terbang ke seluruh alam semesta, hahay!” Mike tertawa lebar, serpihan biskuit menghitamkan giginya.
*
Aku lelah. Aku belum mandi sedari sekolah. Ingin ke Planetarium malam ini, melihat angkasa. Barangkali ada UFO melayang di sana berputar-putar turun ke bumi. Aku berbaris bersama kaum yang percaya fantasi melawan kaum yang haus logika. Andai saja alien ada di kitab suci. Mereka akan percaya meski tak pernah melihatnya. Seperti malaikat yang gaib. Mengapa mereka percaya. Ah itu cuma agar mereka tak dianggap kafir!
Aha! Aku punya gagasan cemerlang untuk memancing UFO dan ufonot itu. Usai penampakan di langit tiga hari lalu yang kurang memuaskan kami, tekadku kuat untuk memanggil UFO itu. Bukan dengan sandi morse ataupun telepon seluler. Ya,aku teringat tarian pemanggil hujan. Dan bilamana itu sukses, betapa puasnya aku bermandi jutaan rupiah sementara para pecundang berlutut di depanku.
*
Ini menggelikan sekaligus menyeramkan,manakala aku mesti menari di bantaran kali untuk memancing pesawat siluman itu dengan gaya Michael Jackson. Ya mungkin UFO menyukai musik pop ala MJ hingga aku bertemu dengannya untuk pertama kali di balkon. Dan di sini aku meletakkan mini compo yang memutarkan cakram padat album MJ. Hentakannya yang rancak bikin aku menari-nari. Sensual. Tubuh remajaku yang ranum sangat seksi dalam remang ini. Aduhai….
Kami berlima suntuk dalam mobil. Jenuh. Kantuk menjadi tamu keenam di antara kami. Setelah mereka puas mengolok-olok tarian suramku, aku tentu belum puas tanpa kehadiran piring melayang itu. Aku kan bayar janjiku: terjun dari gedung sekolah. Oh Galih Subroto… kau masih muda.Janganlah keras kepala. Kau pasti menyesal.
“Ya sudahlah, ayo pulang!” Sandy mengajakku pulang. Dia yang kalah atau aku yang kalah?
“Tak ada yang perlu dibayar, ya kan bro?” serunya ke anak-anak yang lain. Dan mereka setuju.
“Wow, kita mundur?” tandasku sambil meremas setir mobil.
“Ya, mundur untuk maju.”
Aku bergeming. Aku membeku selama 30 menit. Mungkin diundur 30 menit bisa menciptakan peluang bertemu target kami.
“Baru kali ini kita menjauh kan, hanya karena hal misteri: UFO brengsek,” ia memegang tanganku, hangat, dan bergetar. “ Ane pengen besok kita bersatu lagi, main futsal bareng, main Angry Birds, dan saingan dapat juara.’
DUKK!!!
Belum sempat aku mencerna uneg-unegnya, aku dan mereka dikejutkan oleh suara dan guncangan. Horor. Menggoyang mobilku ke kanan-kiri. Meteorit jatuh? Kami saling tatap dengan muka sepucat kuntilanak.
Mike beranjak dan melihat apa yang terjadi. Ia kembali dengan muka sedingin salju.
“UFO!!!”
Spontan kupacu sedanku mengebut. Kukeluarkan jurus berakselerasi bak Sebastian Loeb. Mulus, lancar, tanpa hambatan. Kami selamat.
“Lu berhalusinasi kali Mike!” tanya Hardy penasaran.
“Mana mungkin UFO! Aneh, ente. Ya mobil Galih hancur! Dodol ente!” sanggah Sandy jumawa.
“Ya kan kata Galih UFO-nya mini.Barangkali dia cuma menempel, tidak menekan mobil,” bela si saksi, Mike dengan amat yakin.
Kecuali aku, mereka bertiga masih saja menampik dan mementahkan pengakuan Mike. Gaduh sekali. Perang diplomasi malam ini.
“DIAM SEMUA!!!” hardikku panik.
“Lihat, mobil gue terbang kan, nggak napak aspal.”
Kami sungguh ketakutan, anjlok suhu tubuh kami pada malam kelabu ini. Mencekam, karena makhluk itu datang terpancing tarianku. Tarian Michael Jackson tepatnya.
“Kita diangkat UFO, alien reptoid.”Sandy percaya itu. Aku menang. Tapi tidak! OhTuhan, tolong kami.
“Kita diculik alien gan, hu huhu…,” rengek Aray. Ia menangis. Mereka bertiga berpelukan seperti hendak disembelih. Sementara Sandy meremas tanganku. Aku terpukul, darahku mogok mengalir.
Semakin tinggi, melayang, berputar-putar. Entah bagaimana, bagaikan ada daya magnet yang mengangkat mobilku. Sekejap saja pasti mobilku akan dihempaskan ke bumi oleh alien keparatitu.
“Lima detik lagi kita mati brooooo…!!!” lirih Mike. Jigongku kecut sudah. Lepas sudah separuh nyawaku.
Makhluk bajingan! Mereka telah membuat teman-temanku mengkerut. Mereka gemetar kedinginan. Tidak! Kami terhimpit oleh kesialan yang mendadak. Tanpa permisi lewat depan mobilku.
BLITZ!!!
Sekonyong-konyong kilat merah menghalangi pandanganku. Tubuhku ringan dan terungkit ke atas. Aku mengapung dalam lautan merah. Ya Tuhan, aku sudah di neraka. Ke mana mobilku? Ke mana kawan-kawanku? Aku terombang-ambing di antara buih-buih cahaya yang menyilaukan netraku. Bingung, ngeri, dan cemas bercokol dari kepala hingga jempolku. Kaos biruku kuyup oleh peluh. Jinsku kian lisut mencekik kulitku.
Obsesiku bertemu UFO terkabul. Makhluk ajaib itu sanggup bikin aku merasakan sensasi yang menakjubkan. Aku bisa melayang tanpa tali, tanpa sayap. Luar biasa! Takkan mampu kulupakan. Ini lebih monumental daripada mencium gadis di bawah umur, di bawah pohon, di bawah sinar rembulan bulan Februari.
Tidak! Aku tetap saja bingung, ngeri, dan cemas. Di mana mobilku? Kado jerih payahku menggapai juara umum. Di mana pula keempat temanku. Kami diculik. Kami akan disandera, dibunuh, otak kami disedot. Kecerdasanku akan dicuri. Mereka bakal merampok ilmu manusia,seperti ilmu fisika, yang ditemukan oleh James Joule, Einstein, Galileo,Pascal, Archimedes, dan banyak lagi. Mereka hendak menguasai dunia. Kurang ajar. Kurang asem! Takkan kubiarkan.
“Aray!” panggilku pada ruang kosong yang pengap.
“Galih!” suara itu menyahut. Suarasi rambut brokoli. Hanya suara.
“Mike!”
“Galih, di mana elu?” balasnya parau. Masih suara saja. Paling tidak mereka masih hidup. Beruntung.
“Hardy!”
“Woi, gue di sini!”
Ya Tuhan, puji syukur, kawan-kawnku masih bernyawa.
“Sandy!”
Sepi.
Sahabat kecilku belum menjawab.
“Sandy!”
Ke mana dia? Di mana dia? Bagaimana dia?
SANDYYYY…!!!”
Jeritanku menghantam sisi-sisi selaput cahaya merah ini. Semakin berpendar, lalu berubah semakin pucat, mengerucut membentuk spot di atas kepalaku. Aku berpijak di lantai putih yang dinginnya mengopek kulit, menembus ketsku. Di mana aku? Dimensi apa ini? Aku diteleport ke planet mana?
Ada sosok tinggi mendekatiku. Ini alien Nordics sepertinya. Mirip di film Battlefield Earth, namun lebih bagus perawakannya. Nordics itu membawa pasukannya. Prajurit kadal! Sebentar lagi aku akan dipancung. Seram…!!!
“Hey boy!” suaranya dalam bahasa Inggris, bahasa manusia. Dia diam-diam kursus di EF. Ya, mereka sungguh mencuri ilmu kami.
“Yes I am.” Matanya biru, rambutnya jingga, tampan. Inikah the fallen angel?
“How are you, boy?”
“I’m bad! Why you did kidnap me, us?!”bentakku sok jagoan. (Buruk! Kenapa kau menculikku, kami).
“No abduction. You all ask forexploring the universe with me, right?” (Tak ada penculikan. Kamu meminta menjelajah alam semesta denganku, kan?)
Kami hanya ingin melihat, dan kalaupun diajak mengarungi luar angkasa tak keberatan. Tapi ini terlalu pagi, masih syok melihat pesawat alien ini yang memiliki gaya sentrifugal terbang secara vertikal. Apalagi mengangkat mobilku tanpa ketuk pintu.
“Yes, then where all four of myfriends?” (Ya, lalu di mana keempat kawanku?)
“One of them jumped from your vehicle,” ucapnya memegang bahuku. (Salah satunya lompat dari kendaraanmu)
Aku tersungkur ke lantai ini. Cakarku menggoresnya, perih hatiku. Air mataku berhamburan, mengristal dan terhampar di sini. Aku berlutut di tempat ini. Aku bersujud di depan bokongku sendiri. Keras sekali kepalaku. Aku menyesal.
Helai per helai air mata ini mengguyur kemarau di sukmaku. Kian lama membasahi dan menggenangi mataku. Tiap pagi, tiap petang, tiap malam, dan tiap kusebut namamu. Aku tak berharap reda. Aku tak berharap melupakan namamu, duhai sahabatku
____
Pernah dimuat di majalah Story nomor 47