139. Peramal Fiksi
Cerpen ini pernah diikutsertakan pada lomba akhir tahun Pena Nusantara, dan menyandang gelar 10 besar.
Oleh: Abu Sudar
Nino mengguncang bahuku, berkata seperti menggenapi tiap keganjilan yang aku sangkal belakangan ini. Namun tetap saja aku masih tercenung di antara percaya dan skeptis. Apa yang ia beberkan bagai pasal-pasal KUHP yang tak mau kudengarkan, tapi wajib kuterima. Ah, itu tak mungkin. Aku mesti memilih skeptis. Sekali lagi Nino menegaskan kalimatnya, “Apa kamu tak percaya bahwa kamu bisa meramal masa depan, Atika?”
Aku memang belum terlalu lama tenggelam dalam dunia sastra profesional. Baru 2 tahun. Selama kuliah karya-karyaku harus puas terpampang di media online tanpa bayaran. Sebukit latihan dan segenggam keberuntungan yang akhirnya mempersilakan secarik cerpenku yang terbuat dari tinta air mata tembus ke koran nasional terpandang. Di mana saat ratusan penulis lain yang berambisi karyanya masuk koran tersebut harus tersisih oleh aku yang baru pertama kirim, dan langsung dimuat dalam masa tunggu 2 bulan.
Pemuatan perdana itulah yang memacu dan memicu aku untuk terus berkarya bahkan mengebut dengan puluhan cerpenku yang terpajang di berbagai media. Akan tetapi kesah dan bimbang yang terdeteksi olehku diamini oleh Nino. Semangat dan nyaliku untuk terus menari dengan pena seolah-olah akan terbis ke kubangan ketakutan yang tak beralasan. Akan tetapi, aku berlanjut kendati kusulam benang-benang aksara yang basah lantaran gundah.
“Bukankah waktu cerpenmu yang ‘Putus Masa’ itu terbit, akibatnya seminggu kemudian ada kasus gantung diri siswi SMP sebab tak lulus ujian nasional,” terangnya berkobar.
“Itu cuma kebetulan kok, sayang.” Aku menolaknya dengan tegas meski galau tak mampu kuhalau.
“Tokoh dalam cerpenmu kan juga siswi SMP, gantung diri. Faktanya?” Ia menggantung ucapannya, memaksa aku untuk menyetujui hal yang masih aku sangsikan.
“Sekali lagi, itu cuma fiksi!” Suaraku berat dan merendah.
“Mirip novel Futility karya Morgan Robertson itu kan? 14 tahun sebelum Titanic berlayar, dalam novelnya ia mengisahkan sebuah kapal bernama Titan yang tenggelam karena menabrak gunung es. Lalu kamu bilang itu sekadar fiksi yang hiperdramatis, Atika?” Ia masih saja ngotot.
“Nino.” Aku memanggilnya, mengajaknya menutup topik abu-abu ini.
“Titan yang fiksi dan Titanic yang nyata ada kemiripan. Titan berat kotor 70 ribu ton, Titanic 66 ribu ton. Dan pemilik Titan dan Titanic keduanya orang yang pongah!”
Tanganku meremas pundaknya. Dahiku kusandingkan ke dagunya. Aku membaui lehernya yang beraroma artemisia bercampur musk. Kupejamkan mataku. Kusandarkan jiwaku pada kekasihku tersayang yang tengah berusaha mencintaiku apa adanya. Membuatku takut dan kalut. Cemasku tiada terkira bila mesti kehilangan dirinya. Namun aku juga berat bila mesti gantung pena. Apa pun itu, semua cuma kebetulan semata.
*
J.B Rhine. Aku menemukan nama itu usai melempar umpan “melihat masa depan/prekognisi” ke lautan siber yang tak berbatas. Peneliti dari Duke University, USA, ini, memelopori teknik penelitian prekognisi sebelum Perang Dunia II. Bagaimana aku harus hanyut dengan alam pikiran orang Barat yang konon modern itu. Apa mereka begitu fasik dan tak percaya pada misteri ilahi yang takkan tersibak. Kalaupun tersibak, apa mungkin bisa terkuak oleh ilmiah yang bersarang di perguruan-perguruan tinggi di Barat.
Itu hiperbolik. Bagiku dunia parapsikologi tak ubahnya dari santet, pelet, sihir, jimat pusaka yang bermarkas di pondok-pondok dukun yang komat-kamir dihiasi bunga tujuh rupa dan asap kemenyan juga dupa. Lebih baik dan efisien bila negeri ini membangun lembaga-lembaga akademis jurusan budi pekerti dan toleransi.
Aku menggulung layar browser, aku melemahkan power komputer sebelum mematikannya. Barang-barang telah aku rapikan dan kumasukkan ke tas kulit reptil. Aku beranjak, berjalan menjauhi ruang kerjaku. Kantor hampir sepi pada senja yang gerimis ini.
Seperti biasa, kutunggu Nino di halaman parkir. Taburan hujan menggenangi aspal berlubang. Tak dinyana, 20 menit merayap cepat di pos satpam tempatku berteduh. Nino belum juga tampak.
TIN!
Klakson itu memanggil penantianku. Dia keluar dan membukakan pintu untukku. Rinai gerimis mempercepat gerakannya. Senyum ekstra manisnya berujar minta maaf. Aku membalasnya. Dia mendekat, menempelkan bibirnya ke pipiku. Romantis sekali.
“Ada relasi antara cerpenmu yang tempo waktu dimuat di koran itu dengan berita di koran yang sama hari ini.” Nadanya diendapkan. Koran itu mendarat di pangkuanku. Aku sudah tahu itu. Gemetar sekali tanganku.
“Atika!” Serunya, mengajakku berdiskusi.
“Nino, aku lelah!” Aku menyergah dengan jengah. Kubuang wajahku ke luar. Aku sudah berpikir logis bahwa kasus tenggelamnya lima anak di waduk itu adalah tulisan takdir, sementara andaipun cerpen ramalanku itu benar, hanyalah salinan teks takdir dalam bingkai fiksi yang ambigu. Tetapi dari mana aku mendapatkan ide-ide untuk menyulam alur cerita yang ternyata akan berubah nyata? Di sini letak kebimbangan dan keraguanku yang melahirkan sangkalan-sangkalan yang membenturkan tiap-tiap opini Nino.
“Berhenti saja menulis. Cerpenmu membawa sial!” Dengan entengnya dia memuntahkan ejekan ke mukaku.
“Kamu yang gila, Nino! Pikiranmu terlalu konyol dan klenik!”
“Lantas para ilmuwan di Universitas Duke bahkan Universitas Edinburg adalah pribadi-pribadi yang konyol dan klenik?” Ia meningkuh tak mau kalah.
“Sayang… itu bukan ilmu eksakta dan kita masih punya sikap demokratis untuk percaya atau tidak.”
Sedan telah ia singkirkan di tepi jalan. Dibelinya 12 linting tembakau kering. Dibakarnya rajangan tembakau itu sampai lumat. Kepul-kepulnya menyeruak di udara.
“Maka tulislah hal-hal yang indah dan positif.” Dia memerintah. Dia bertitah.
“Aku tak sanggup. Kegelisahan, kesunyian, nestapa, dan kekalahan adalah raga-raga suci dalam sastra yang siap dimasuki roh-roh para pembaca yang menyelami dan memahami maksud persoalan mereka sendiri,” paparku puitis.
“Demi aku.” Tatapannya melekat. Dia menempelkan dahinya ke dahiku. Kami saling menghirup napas membaui desah dan lenguh. Kubasahi bibirnya yang kering. Kulancipkan dagunya yang tumpul.
“Bagaimana jika prekognisi buruk datang lewat media mimpi. Aku tak sanggup menghadangnya.”
“Lakukan saja yang mampu kamu kontrol.”
Nino telah memojokanku ke ujung pilihan yang berat: sastra atau cinta. Aku tak mampu memilih mana yang mesti aku tinggalkan karena aku tak mau memilih.Tetapi masih ada pilihan ketiga: pengorbanan.
Pengorbanan punya kuasa untuk memilih apa yang tak mau kupilih. Akhirnya aku memilih cinta pertamaku. Cinta yang sudah kutiduri dan beranak-pinak berbagai kesenangan dan kepuasan yang tak tertakar. Sebuah dunia yang melingkupiku yang berdampingan dengan pria-pria yang singgah dan pergi. Dua hal yang berbeda dan tak sebanding untuk dipilih di antaranya lalu dilepas atas nama ketidakpantasan. Namun, pengorbanan berbicara lain.
“Kalau begitu, aku punya kontrol untuk memilih.” Aku memutuskan usai seperempat jam merenung. Nino menoleh. Ketampanannya membiru dibalut kekeraskepalaannya. Egosentris.
“Kalau kamu tak mau menerima aku seutuhnya, aku memutuskan selesai. Titik!” Kalimat klise itu teramat mudah dilafalkan, oh sungguh berat untuk ditekadkan. Di sini waktu membeku dan kami terpaku.
“Okay!!!” Hardiknya. Matanya menyemburkan api. Bibirnya gemetar. “Aku tak suka dengan perempuan keras kepala yang maunya menang sendiri. Suatu saat pegang ucapanku itu. Dan… terima kasih atas keindahannya selama ini. Paham?”
Argumennya dilanjutkan dengan tekanan suara yang tinggi walau rasa getir terbaca di bibir.
Aku bangkit, membuka pintu, dan bergegas menjauhinya.
“Atika….” Suaranya khas, lembut nan sendu. Aku menoleh, menatap sekilas, lalu aku segera masuk rumah.
Kubanting tubuhku ke kasur pegasku. Aku dicengkram kuku-kuku emosi. Dengan gunting amarah kutebas pita-pita keputusan. Senja ini angin merajuk sentimentil. Air mata menggenang di ceruk bantal. Punggung bergetar digelayuti sesal.
Aku belum juga beranjak dari ranjang. Bulir-bulir amis keringat tak juga kubasuh. Malam datang sesuai jadwal. Kemuraman wajah Nino bersemayam di otakku. Dirinya menangis. Namun semua hanya ilusi. Dia takkan pernah menangis akibat perbuatannya sendiri.
Malam ini hendak kufiksikan kisahku. Gulungan kertas imajiner telah terhampar. Akan kurancang cerita dengan tokoh utama pria yang tewas lantaran mencampakkan kekasihnya hanya untuk idealisnya. Lantas akan kubuktikan pada ilmuwan-ilmuwan Barat bahwa gejala-gejala di lingkup hidupku akhir-akhir ini sekadar dua hal yang bergulir hampir bersamaan: fiksi dan nyata. Bukan pertanda awal yang menandakan kejadian berikutnya, melainkan kesamaan yang berjalan beriringan dengan hanya disekat waktu yang tipis; sekarang dan esok, siang dan malam, juga detik dan menit. Lagi pula aku bukan Nostradamus, yang dengan sajak-sajaknya dia lihai meramalkan kelahiran manusia sebesar Bung Karno, perpecahan Katolik, Revolusi Bolshevik, dan peristiwa seakbar Perang Dunia I dan II.
Namun belum kutemukan dari mana mesti kuurai cerita ini. Dari kekeraskepalaannya, kasih sayangnya, atau teduh tampan pesonanya? Air hujan menderas, kalimatku menetes. Kutenggak mililiter demi mililiter bir pilsener. Kupacu deru napas yang tersengal-sengal demi melahirkan kisah penuntas dendam. Kutimang-timang semakhluk prosa yang konon mampu berkuasa. Kutitipkan dirinya di meja redaksi koran edisi Minggu.
Pagi yang menjelang, tubuhku belepotan oleh alkohol dan keringat. Dendamku padanya bukan untuk mencelakainya, tetapi sekadar membuktikan bahwasanya semua itu jelas bohong. Lantas, ketika “ramalan”-ku yang tak kusengaja itu berubah nyata, akankah yang disengaja ini pun akan sama. Maka jangan salahkan aku dan Morgan Robertson bila ternyata sang fiksi yang kami bangunkan berjalan berdampingan dengan kenyataan.
“Toloooonngg….” Lirih suara seorang pria berasal dari depan rumah. Jam 3 pagi saat kulirik arloji. Hujan memudarkan suara itu lamat-lamat. Aku meniti anak tangga dengan terhuyung. Penasaran sekali, siapa yang mohon tolong pada Sabtu dini waktu.
Aku mendapati pria tak berdaya tergeletak di luar pagar. Tubuhnya kuyup oleh darah dan guyuran hujan. Aku sangat panik. Kudekati, kusentuh, kutolong dirinya yang sekarat. Darah menggumpal di jantungku.
“Kamu kenapa?” Alih-alih lekas menolong, aku malah bertanya pada nyawa yang nyaris terbang ke langit. Aku bimbang, apa yang harus kuperbuat.
“Saya habis dirampok.” Sepotong nyawanya dikumpulkan untuk berbicara patah-patah. Kaos merahnya menjadi pekat terendam darah.
“Kamu yang membunuhku!” Tuduhnya. Segera ia bangkit dan mencekik leherku. Aku berontak, gelagapan. Mengapa dia justru menyerangku dan menuduh aku membunuhnya sementara ia belum mati. Ini gila. Apa dia zombi?
“Lepaskan!” Aku menjerit, melawan. Aku terlepas tapi kuku zombi itu berhasil mencakar dadaku. Tanganku meraih pagar. Naasnya pagar terkunci mendadak. Jerit histerisku meledak. Suasana mencekam. Kengerian menggurita di sekujur ruang.
“Atika….” Dia tahu namaku, menangkapku, memelukku dari belakang.
“Jangan....” Aku menangis terisak.
*
Kubuka kelopak mata tiba-tiba. Kucermati apa pun di depanku. Kucerna sekelumit memori di kepala. Ternyata aku baru saja keluar dari alam mimpi.
Sang surya merangkak tinggi. Cericit burung pemanggil pagi telah lama pergi. Ragaku payah. Otakku masih saja memutar ulang adegan mimpi yang hampir meredup tersaput kesadaran. Yang jelas aku mengenal ciri khas kala ia memanggil namaku. Siapa dia?
Ponselku berdering. Endang, kakak sulung Nino, memanggilku. Malas rasanya berhubungan dengan keluarganya lagi.
“Halo, Mbak!”
“Atika…” Suaranya rintih nan perih. Seperti sebiji gejolak tersedak di kerongkongan.
“Kenapa, Mbak?”
“Nino….” Disebutlah nama lelaki itu dengan irama parau. Tetapi dia tak kuat melanjutkan sekilas berita siang hari ini. Sambungan terputus. Firasatku jelek.
Aku menerawang keburukan. Otakku mencari-cari sisa ingatan mimpi yang seperti tersambung ke sepotong kabar yang tak tuntas. Kutengok ke selembar cermin. Kuselidik bayanganku.
Di dada bagian atas ada luka cakaran segar, tergores oleh cakar mimpi. Aku menangis sepuas-puasnya. Aku mengerang sebulat-bulatnya. “Nino…!!!” Teriakku bergemuruh dengan pikiran yang rusuh.
Apakah Nino mati dirampok? Pelan-pelan aku memercayainya. Pelan-pelan pandanganku kabur. Dan perlahan-lahan dia merengkuhku dari belakang.
“Atika….” (*)
Oleh: Abu Sudar
Nino mengguncang bahuku, berkata seperti menggenapi tiap keganjilan yang aku sangkal belakangan ini. Namun tetap saja aku masih tercenung di antara percaya dan skeptis. Apa yang ia beberkan bagai pasal-pasal KUHP yang tak mau kudengarkan, tapi wajib kuterima. Ah, itu tak mungkin. Aku mesti memilih skeptis. Sekali lagi Nino menegaskan kalimatnya, “Apa kamu tak percaya bahwa kamu bisa meramal masa depan, Atika?”
Aku memang belum terlalu lama tenggelam dalam dunia sastra profesional. Baru 2 tahun. Selama kuliah karya-karyaku harus puas terpampang di media online tanpa bayaran. Sebukit latihan dan segenggam keberuntungan yang akhirnya mempersilakan secarik cerpenku yang terbuat dari tinta air mata tembus ke koran nasional terpandang. Di mana saat ratusan penulis lain yang berambisi karyanya masuk koran tersebut harus tersisih oleh aku yang baru pertama kirim, dan langsung dimuat dalam masa tunggu 2 bulan.
Pemuatan perdana itulah yang memacu dan memicu aku untuk terus berkarya bahkan mengebut dengan puluhan cerpenku yang terpajang di berbagai media. Akan tetapi kesah dan bimbang yang terdeteksi olehku diamini oleh Nino. Semangat dan nyaliku untuk terus menari dengan pena seolah-olah akan terbis ke kubangan ketakutan yang tak beralasan. Akan tetapi, aku berlanjut kendati kusulam benang-benang aksara yang basah lantaran gundah.
“Bukankah waktu cerpenmu yang ‘Putus Masa’ itu terbit, akibatnya seminggu kemudian ada kasus gantung diri siswi SMP sebab tak lulus ujian nasional,” terangnya berkobar.
“Itu cuma kebetulan kok, sayang.” Aku menolaknya dengan tegas meski galau tak mampu kuhalau.
“Tokoh dalam cerpenmu kan juga siswi SMP, gantung diri. Faktanya?” Ia menggantung ucapannya, memaksa aku untuk menyetujui hal yang masih aku sangsikan.
“Sekali lagi, itu cuma fiksi!” Suaraku berat dan merendah.
“Mirip novel Futility karya Morgan Robertson itu kan? 14 tahun sebelum Titanic berlayar, dalam novelnya ia mengisahkan sebuah kapal bernama Titan yang tenggelam karena menabrak gunung es. Lalu kamu bilang itu sekadar fiksi yang hiperdramatis, Atika?” Ia masih saja ngotot.
“Nino.” Aku memanggilnya, mengajaknya menutup topik abu-abu ini.
“Titan yang fiksi dan Titanic yang nyata ada kemiripan. Titan berat kotor 70 ribu ton, Titanic 66 ribu ton. Dan pemilik Titan dan Titanic keduanya orang yang pongah!”
Tanganku meremas pundaknya. Dahiku kusandingkan ke dagunya. Aku membaui lehernya yang beraroma artemisia bercampur musk. Kupejamkan mataku. Kusandarkan jiwaku pada kekasihku tersayang yang tengah berusaha mencintaiku apa adanya. Membuatku takut dan kalut. Cemasku tiada terkira bila mesti kehilangan dirinya. Namun aku juga berat bila mesti gantung pena. Apa pun itu, semua cuma kebetulan semata.
*
J.B Rhine. Aku menemukan nama itu usai melempar umpan “melihat masa depan/prekognisi” ke lautan siber yang tak berbatas. Peneliti dari Duke University, USA, ini, memelopori teknik penelitian prekognisi sebelum Perang Dunia II. Bagaimana aku harus hanyut dengan alam pikiran orang Barat yang konon modern itu. Apa mereka begitu fasik dan tak percaya pada misteri ilahi yang takkan tersibak. Kalaupun tersibak, apa mungkin bisa terkuak oleh ilmiah yang bersarang di perguruan-perguruan tinggi di Barat.
Itu hiperbolik. Bagiku dunia parapsikologi tak ubahnya dari santet, pelet, sihir, jimat pusaka yang bermarkas di pondok-pondok dukun yang komat-kamir dihiasi bunga tujuh rupa dan asap kemenyan juga dupa. Lebih baik dan efisien bila negeri ini membangun lembaga-lembaga akademis jurusan budi pekerti dan toleransi.
Aku menggulung layar browser, aku melemahkan power komputer sebelum mematikannya. Barang-barang telah aku rapikan dan kumasukkan ke tas kulit reptil. Aku beranjak, berjalan menjauhi ruang kerjaku. Kantor hampir sepi pada senja yang gerimis ini.
Seperti biasa, kutunggu Nino di halaman parkir. Taburan hujan menggenangi aspal berlubang. Tak dinyana, 20 menit merayap cepat di pos satpam tempatku berteduh. Nino belum juga tampak.
TIN!
Klakson itu memanggil penantianku. Dia keluar dan membukakan pintu untukku. Rinai gerimis mempercepat gerakannya. Senyum ekstra manisnya berujar minta maaf. Aku membalasnya. Dia mendekat, menempelkan bibirnya ke pipiku. Romantis sekali.
“Ada relasi antara cerpenmu yang tempo waktu dimuat di koran itu dengan berita di koran yang sama hari ini.” Nadanya diendapkan. Koran itu mendarat di pangkuanku. Aku sudah tahu itu. Gemetar sekali tanganku.
“Atika!” Serunya, mengajakku berdiskusi.
“Nino, aku lelah!” Aku menyergah dengan jengah. Kubuang wajahku ke luar. Aku sudah berpikir logis bahwa kasus tenggelamnya lima anak di waduk itu adalah tulisan takdir, sementara andaipun cerpen ramalanku itu benar, hanyalah salinan teks takdir dalam bingkai fiksi yang ambigu. Tetapi dari mana aku mendapatkan ide-ide untuk menyulam alur cerita yang ternyata akan berubah nyata? Di sini letak kebimbangan dan keraguanku yang melahirkan sangkalan-sangkalan yang membenturkan tiap-tiap opini Nino.
“Berhenti saja menulis. Cerpenmu membawa sial!” Dengan entengnya dia memuntahkan ejekan ke mukaku.
“Kamu yang gila, Nino! Pikiranmu terlalu konyol dan klenik!”
“Lantas para ilmuwan di Universitas Duke bahkan Universitas Edinburg adalah pribadi-pribadi yang konyol dan klenik?” Ia meningkuh tak mau kalah.
“Sayang… itu bukan ilmu eksakta dan kita masih punya sikap demokratis untuk percaya atau tidak.”
Sedan telah ia singkirkan di tepi jalan. Dibelinya 12 linting tembakau kering. Dibakarnya rajangan tembakau itu sampai lumat. Kepul-kepulnya menyeruak di udara.
“Maka tulislah hal-hal yang indah dan positif.” Dia memerintah. Dia bertitah.
“Aku tak sanggup. Kegelisahan, kesunyian, nestapa, dan kekalahan adalah raga-raga suci dalam sastra yang siap dimasuki roh-roh para pembaca yang menyelami dan memahami maksud persoalan mereka sendiri,” paparku puitis.
“Demi aku.” Tatapannya melekat. Dia menempelkan dahinya ke dahiku. Kami saling menghirup napas membaui desah dan lenguh. Kubasahi bibirnya yang kering. Kulancipkan dagunya yang tumpul.
“Bagaimana jika prekognisi buruk datang lewat media mimpi. Aku tak sanggup menghadangnya.”
“Lakukan saja yang mampu kamu kontrol.”
Nino telah memojokanku ke ujung pilihan yang berat: sastra atau cinta. Aku tak mampu memilih mana yang mesti aku tinggalkan karena aku tak mau memilih.Tetapi masih ada pilihan ketiga: pengorbanan.
Pengorbanan punya kuasa untuk memilih apa yang tak mau kupilih. Akhirnya aku memilih cinta pertamaku. Cinta yang sudah kutiduri dan beranak-pinak berbagai kesenangan dan kepuasan yang tak tertakar. Sebuah dunia yang melingkupiku yang berdampingan dengan pria-pria yang singgah dan pergi. Dua hal yang berbeda dan tak sebanding untuk dipilih di antaranya lalu dilepas atas nama ketidakpantasan. Namun, pengorbanan berbicara lain.
“Kalau begitu, aku punya kontrol untuk memilih.” Aku memutuskan usai seperempat jam merenung. Nino menoleh. Ketampanannya membiru dibalut kekeraskepalaannya. Egosentris.
“Kalau kamu tak mau menerima aku seutuhnya, aku memutuskan selesai. Titik!” Kalimat klise itu teramat mudah dilafalkan, oh sungguh berat untuk ditekadkan. Di sini waktu membeku dan kami terpaku.
“Okay!!!” Hardiknya. Matanya menyemburkan api. Bibirnya gemetar. “Aku tak suka dengan perempuan keras kepala yang maunya menang sendiri. Suatu saat pegang ucapanku itu. Dan… terima kasih atas keindahannya selama ini. Paham?”
Argumennya dilanjutkan dengan tekanan suara yang tinggi walau rasa getir terbaca di bibir.
Aku bangkit, membuka pintu, dan bergegas menjauhinya.
“Atika….” Suaranya khas, lembut nan sendu. Aku menoleh, menatap sekilas, lalu aku segera masuk rumah.
Kubanting tubuhku ke kasur pegasku. Aku dicengkram kuku-kuku emosi. Dengan gunting amarah kutebas pita-pita keputusan. Senja ini angin merajuk sentimentil. Air mata menggenang di ceruk bantal. Punggung bergetar digelayuti sesal.
Aku belum juga beranjak dari ranjang. Bulir-bulir amis keringat tak juga kubasuh. Malam datang sesuai jadwal. Kemuraman wajah Nino bersemayam di otakku. Dirinya menangis. Namun semua hanya ilusi. Dia takkan pernah menangis akibat perbuatannya sendiri.
Malam ini hendak kufiksikan kisahku. Gulungan kertas imajiner telah terhampar. Akan kurancang cerita dengan tokoh utama pria yang tewas lantaran mencampakkan kekasihnya hanya untuk idealisnya. Lantas akan kubuktikan pada ilmuwan-ilmuwan Barat bahwa gejala-gejala di lingkup hidupku akhir-akhir ini sekadar dua hal yang bergulir hampir bersamaan: fiksi dan nyata. Bukan pertanda awal yang menandakan kejadian berikutnya, melainkan kesamaan yang berjalan beriringan dengan hanya disekat waktu yang tipis; sekarang dan esok, siang dan malam, juga detik dan menit. Lagi pula aku bukan Nostradamus, yang dengan sajak-sajaknya dia lihai meramalkan kelahiran manusia sebesar Bung Karno, perpecahan Katolik, Revolusi Bolshevik, dan peristiwa seakbar Perang Dunia I dan II.
Namun belum kutemukan dari mana mesti kuurai cerita ini. Dari kekeraskepalaannya, kasih sayangnya, atau teduh tampan pesonanya? Air hujan menderas, kalimatku menetes. Kutenggak mililiter demi mililiter bir pilsener. Kupacu deru napas yang tersengal-sengal demi melahirkan kisah penuntas dendam. Kutimang-timang semakhluk prosa yang konon mampu berkuasa. Kutitipkan dirinya di meja redaksi koran edisi Minggu.
Pagi yang menjelang, tubuhku belepotan oleh alkohol dan keringat. Dendamku padanya bukan untuk mencelakainya, tetapi sekadar membuktikan bahwasanya semua itu jelas bohong. Lantas, ketika “ramalan”-ku yang tak kusengaja itu berubah nyata, akankah yang disengaja ini pun akan sama. Maka jangan salahkan aku dan Morgan Robertson bila ternyata sang fiksi yang kami bangunkan berjalan berdampingan dengan kenyataan.
“Toloooonngg….” Lirih suara seorang pria berasal dari depan rumah. Jam 3 pagi saat kulirik arloji. Hujan memudarkan suara itu lamat-lamat. Aku meniti anak tangga dengan terhuyung. Penasaran sekali, siapa yang mohon tolong pada Sabtu dini waktu.
Aku mendapati pria tak berdaya tergeletak di luar pagar. Tubuhnya kuyup oleh darah dan guyuran hujan. Aku sangat panik. Kudekati, kusentuh, kutolong dirinya yang sekarat. Darah menggumpal di jantungku.
“Kamu kenapa?” Alih-alih lekas menolong, aku malah bertanya pada nyawa yang nyaris terbang ke langit. Aku bimbang, apa yang harus kuperbuat.
“Saya habis dirampok.” Sepotong nyawanya dikumpulkan untuk berbicara patah-patah. Kaos merahnya menjadi pekat terendam darah.
“Kamu yang membunuhku!” Tuduhnya. Segera ia bangkit dan mencekik leherku. Aku berontak, gelagapan. Mengapa dia justru menyerangku dan menuduh aku membunuhnya sementara ia belum mati. Ini gila. Apa dia zombi?
“Lepaskan!” Aku menjerit, melawan. Aku terlepas tapi kuku zombi itu berhasil mencakar dadaku. Tanganku meraih pagar. Naasnya pagar terkunci mendadak. Jerit histerisku meledak. Suasana mencekam. Kengerian menggurita di sekujur ruang.
“Atika….” Dia tahu namaku, menangkapku, memelukku dari belakang.
“Jangan....” Aku menangis terisak.
*
Kubuka kelopak mata tiba-tiba. Kucermati apa pun di depanku. Kucerna sekelumit memori di kepala. Ternyata aku baru saja keluar dari alam mimpi.
Sang surya merangkak tinggi. Cericit burung pemanggil pagi telah lama pergi. Ragaku payah. Otakku masih saja memutar ulang adegan mimpi yang hampir meredup tersaput kesadaran. Yang jelas aku mengenal ciri khas kala ia memanggil namaku. Siapa dia?
Ponselku berdering. Endang, kakak sulung Nino, memanggilku. Malas rasanya berhubungan dengan keluarganya lagi.
“Halo, Mbak!”
“Atika…” Suaranya rintih nan perih. Seperti sebiji gejolak tersedak di kerongkongan.
“Kenapa, Mbak?”
“Nino….” Disebutlah nama lelaki itu dengan irama parau. Tetapi dia tak kuat melanjutkan sekilas berita siang hari ini. Sambungan terputus. Firasatku jelek.
Aku menerawang keburukan. Otakku mencari-cari sisa ingatan mimpi yang seperti tersambung ke sepotong kabar yang tak tuntas. Kutengok ke selembar cermin. Kuselidik bayanganku.
Di dada bagian atas ada luka cakaran segar, tergores oleh cakar mimpi. Aku menangis sepuas-puasnya. Aku mengerang sebulat-bulatnya. “Nino…!!!” Teriakku bergemuruh dengan pikiran yang rusuh.
Apakah Nino mati dirampok? Pelan-pelan aku memercayainya. Pelan-pelan pandanganku kabur. Dan perlahan-lahan dia merengkuhku dari belakang.
“Atika….” (*)