127. Kado untuk Stefani (episode 2)
Napas suamiku tersengal bagai usai bersprint di lintasan lurus. Kudekati, kuambil tas tentengnya. Aroma parfum kayunya sudah memudar dihajar keringat. Kusuguhkan sekaleng minuman elektrolit. Habislah ditenggak di sofa hijau tosca kesayanganku.
"Kamu dikejar sapi?"
"Sejak kapan lantai dua beranak tangga seribu?" Pertanyaannya masih mentah. "Maksudnya, Tom?" Dia tak langsung menyahut. Peluh di mukanya diseka. Wajahnya tampak serius di balik kemudaannya. Usianya memang 4 tahun lebih muda dariku. Namun kariernya seperti 40 tahun lebih tua dariku.
"Sudahlah." Dia pasrah. Melepas sepatu dan kemejanya. Kurapikan. Barangkali dia lelah dan penat. Dia harus beristirahat di pelukanku yang hangat.
"Stefani...." Telapak tanganku diremas, guratnya cemas.
"Iya, sayang."
"Seperti ada kekuatan hitam yang mengganggu kita," ucapnya serius.
"Jelaskan dulu apa maksud seribu anak tangga?"
Tom mengembuskan napas melunturkan keganjilan yang baru dia alami.
"Aku merasa jauh meniti tangga dan terlihat tinggi sekali."
Aku menjawab dengan bahasa diam, bahasa mengerti. Ada lagi pengalaman supranatural di antara kami sedangkan lampion-lampion misteri belum sanggup aku nyalakan.
"Kamu sudah tanya Mas Luki tentang tempo hari?"
"Belum sempat." Dia berdiri.
"Lalu kalimat itu?" tuntutku tak sabar.
"Apalagi itu. Aku sibuk."
"Apa? Sibuk?" Aku menggertak.
"Iya sibuk, duitnya juga buat kamu. Enggak kayak kamu, bisa lenggang kangkung di mall."
Cibirannya memenggal batang leherku. "Enak saja kamu, Tom! Kamu menyuruhku berhenti mengajar agar fokus menjadi istri rumahan yang melayani suami, mencucikan celana dalammu, mengambilkanmu ini-itu. Aku kuliah capek toh akhirnya aku cuma di rumah melayani suami kolokan macam kamu. Nggak heran karena kamu anak lelaki satu-satunya yang dimanja!"
Plak!
Ah! Aku membisu. Ini kali pertama Tom menampar pipiku. Tangannya panas sekali bagai ada kobaran api di tiap sumbu jemarinya.
Aku menangis sebagai wanita. Wanita yang lemah. Perih. Amat menyakitkan bila hidup harus dipilih, bukan memilih. Dia berjongkok. Bersimpuh di sisiku. Tangannya yang kasar dilingkarkan di pinggangku. Kepalanya dibenamkan ke perutku.
"Fani, maafkan aku ya." Penyesalan terucap dari bibirnya. "Aku berjanji takkan memukulmu lagi. Juga akan berusaha menyibak kalimat itu. Aku rencana minta tolong pada rekan kerja dan teman-temanku. Mungkin kamu bisa minta bantuan pada murid-muridmu tempat kamu dulu mengajar. Biasanya anak SMA lebih kreatif dan rasa ingin tahunya berapi-api." Tom bicara sepihak.
oh mentari sang jimat
turunlah ke bumi sebagai juru selamat
saksikanlah tarian ranjang kami yang kian hangat
sarikanlah satu kitab menjadi satu kalimat
esok subuh ku kan berdoa agar luruh segala kesumat
bagaimana aku memanjatkannya ke langit bertabur rahmat
engkau telah turun ke bumi pada sepucuk siang yang terlambat
**
Malam-malam terasa memanjang; nyenyak di pangkuan kelam. Siang-siang begitu ringkas, datang terlambat tanpa maaf. Bulan maduku bersama suami mengembun beku di ujung daun dan batang kemaluan. Guyuran hujan saban petang enggan meninggalkan jejak di pinggir malam.
Pembuntu labirin itu sedikit mendapat lubang jalan. Nasihat Tom usai aksi KDRT tiga hari lalu ada benarnya. Salah satu muridku berhasil meretakkan kaca buram yang menghalangi maksud kalimat itu. Malam ini kami mengundang dia makan malam di restoran Jepang.
"Ternyata kamu suka sekali ya dengan ramen." Aku sedikit terkekeh pada Galung. Senyumannya menyimpul.
"Sejak nonton film Ramen, Bu. Andai saja ramen ini dibuat oleh Britany Murphy, wuihh saya rela bayar sejuta ha ha ha...."
"Betul. Bahkan tempe goreng buatan Katy Perry tuh lebih lezat daripada rendang bikinan Zhang Ziyi." Tom buka guyonan. Menyindir. Kutendang betisnya.
"Aduuhh... kakiku ditendang arwah Marisa ha ha ha." Ya ampun, suamiku memang memalukan. Pandainya cuma berkelekar tak bisa bikin masalah ini kelar.
"Kak Tom."
"Iya."
"Hmm, saya mendengar tawa perempuan berbarengan dengan tawa Kakak." Galung heran. Begitupun kami berdua. Semua sendok diturunkan. Semua alis dinaikkan.
"Sudah tak ada wanita di resto ini, kecuali mantan guru fisika-mu yang cantik ini." Tom menekan hidungku. Menampik Galung.
"Iya, mungkin sekadar halusinasi."
"Okay, langsung saja. Kenapa kamu berkesimpulan kalau kalimat 'aku ingin pergi tak mau menginjak bumi' ialah orang yang bunuh diri? Krek!" Tom memeragakan gerakan tangan seperti menghabisi nyawa dengan menyembelih.
"Begini, Kak. Semua orang yang pergi pasti menginjak bumi, sekalipun naik pesawat insya Allah akan turun ke bumi. Ya kecuali astronot. Tapi suatu hari sang astronot yang bertugas di luar bumi insya Allah akan kembali ke observatorium di bumi. Dan sepenggal kalimat 'tak mau menginjak bumi' seperti pergi selamanya." Galung amat brilian. Angkat topi untuknya.
"Why not?" Sanggahan Tom bikin pahit suasana.
"Tapi, Kak, kita sedang membahas hal gaib, bukan ilmiah. Yang menyampaikan pesan ini yaitu jin, bukan Yuri Gagarin." Galung berkelit sekuat urat.
"Kalau begitu, model bunuh dirinya apa dengan gantung diri?" cetusku.
"Nah, Bu Fani benar! Gantung diri termasuk nggak menginjak bumi. Kalimatnya memang bercabang."
"Lalu siapa yang bunuh diri pakai tali jemuran?" Ah, Tom, kau masih saja bergurau.
**
Aku terhisap lubang waktu dengan putaran yang kencang. Sekencang mulut Galung. Pikiranku terhuyung ke suatu masa. Gerhana menyambangiku lagi di tengah padang sabana kala aku dan masa depanku bergandengan intim diiringi burung-burung gurun.
Ketika kali pertama Tom muncul, aku yakin dia masih mencium harum kembang kuburan yang menyeruak dari tetes terakhir air mataku. Dia adalah macam pemuda yang tak mau banyak tahu. Kusembunyikan lembaran itu di kitab paling tebal.
Apa lacur. Makhluk bernama kenangan bangkit dari peti mati bertanggang cahaya. Andrew, masa laluku, kini sudah turun dari tali api yang menebas batang lehernya.
"Fani-ku sayang, aku dipecat."
Keluhanmu itu bagai lidah penyambung tambang berkepang empat. Bukankah kala itu kutatap nanar matamu yang biru terbakar menjadi abu.
Kemudian bulan-bulanmu terborgol ketidakpastian. Langkah kakimu tak mampu maju. Darah syahwatmu kian amis ketika kubaui lekuk ketiakmu. Kamu gagal meminangku.
"Fani, aku tak punya uang untuk membelikanmu kado valentine."
Kamu ingin selalu menjadi pahlawan di depanku. Tanpa luka meski kalah tempur di medan buangan. Derap kakimu teratur Bukankah kemarin sepulang dari Gereja engkau mengaduh betismu ditembus peluru dari kaca panas.
"Fani, brengsek kau!!!" Aku cuma diam tersedu. Kamu menukasku bahwa aku melelang bunga cintaku. Memang kamu benar. Bukankah kamu sudah mengaku kalah. Tak ada lagi wibawa yang menahanku agar tetap di sisimu.
Lalu kamu menjambak rambutku. Pria kedua itu kamu tonjok hingga mimisan. Usainya aku hanya melihat seekor anak iblis terbang dari bumi.
"Andrew, kamu marah padaku?" Aku bergumam pada jejak sayapmu di langit. Tentu hanya sunyi yang bernyanyi.
"Kak Fani, Kak Andrew telah tiada." Ucapan dari adikmu fajar itu hampir membuatku semaput. Selama tiga hari namamu aku doakan ke langit dari altar suci tempat sembilan malaikat memuji.
Kekasihku, kau pergi tanpa membawa rohku. Kamu sungguh marah tatkala memandangku mendua. Engkau tak tahan akan semua itu. Aku pun tak tahan dengan takdirmu yang menggelantung di tepi kelopak lotus. Namun semudah itukan kamu menjadi hakim yang lalim?
**
Tom berwajah masam geram. Sedikit dongkol mengetahui narasi besar masa laluku. Dosa masa lalu. Tetapi kejengkelannya meredup. Tak berbekas kalau dia mantan anak mama dan papa. Kemudinya kalem.
"Ada yang membuntuti kita sejak dari resto." Spion diselidik. Menyingkir ke warung kecil.
"Bermobil?"
"Bukan. Berjalan kaki." Lagi-lagi banyolan. Waktu hanya dianggap sampah alam.
Di jalan belakang, lengang. Bercahaya LED jingga yang terang. Manusia macam apa yang bertenaga kuda. Dan ternyata....
"Tom." Dia mendekat bersama sebotol air mineral.
"Kamu lihat kan? Siapa dia?"
"Itu Andrew...." Bisikku gemetar, gentar, diiringi halilintar yang sejak sore gagal memanggil hujan. Tom dengan tergesa memutar ban. Suhu dalam kabin turun meski hujan belum mendarat. Uap keluar dari mulut Tom. Kugesekkan jari-jariku biar hangat.
"Sekencang apa mobil ini, dia bisa mengejar kita walau terlihat bagai orang berjalan santai." Menggerutu. Bersungut.
Arwah Andrew mengejar mobil kami. Wajahnya dingin. Buluku bergidik. Tom bergaya bak pereli yang berambisi naik podium. Sukses. Hantu tersebut kehabisan tenaga untuk membuntuti kami. Terkendali.
"Bagaimana? Mau melawan Latvala, ha ha ha...." Bahaknya memanggil hujan. Temperatur yang berubah prematur, kini menghangat. Kaca samping mengembun. Di sinilah keajaiban bermula. Terukir di samping bahwa "aku ada di belakang". Ya Tuhan, apakah dia yang mencekik Marisa?
"Dia sudah mendekat, Tom."
"Sinting tuh!" Sedan berbelok cepat. Tergelincir. Terkontrol. Berpacu di aspal licin tak berkawan. Mengebut kencang dengan gundah. Menghapus butiran hujan yang basah.
"Kampret!" Palang di perlintasan kereta diturunkan. Kereta listrik berlari sekuat predator. Menipiskan kesabaran Tom. Menebalkan kecemasanku.
"Kereta a*jing! Panjangnyaaa." Dari tadi Tom mengumpat. Geledek pecah di angkasa. Curah hujan tumpah ruah. Rangkaian KRL yang memotong perjalanan kami tak kunjung habis. Bilangan gerbongnya laksana seribu kurang satu. Kereta pengangkut mayatkah ini?
"Dia sudah duduk di jok belakang." Aku berbisik. Ya, itu Andrew yang telah duduk. Jas hitamnya tampak gres. Seperti jas yang ia kenakan saat terlelap dalam peti mati. Bahkan Tom lebih pengecut dariku. Tak pernah dia melirik dari spion.
"Ini kereta iblis! Kita tabrak aja!" Murka. Bentakannya menghilangkan bayangan Andrew di kaca. Dia menghilang.
"Mobil kita bisa terseret, Tom," cegahku.
"Kereta ini hanya ilusi. Fatamorgana. Permainan visual setan!"
Teriakanku menggelegar. Kaca samping diketuk olehnya. Bukan. Bukan Andrew. Bukan Andrew yang mengetuk. Bukan Andrew yang mengetuk kaca samping. Penjaga. Penjaga perlintasan. Penjaga perlintasan yang melakukannya.
"Neng, ayo jalan. Kan keretanya sudah lewat dari tadi."
Aku membuang napas.
**
Semerbak bau kopi arabika yang kumasak bertebaran di meja ruang tamu. Aku menjamu Mas Luki. Tergoda oleh wanginya, dia menghirup kepul-kepul dari cangkir, kemudian lidahnya mengisap barang sekelumit. Tampilan dia klimis. Muda dan enerjik. Tiada satu pun aksesoris yang melambangkan bahwa dia seorang ahli paranormal. Dia lebih mirip presenter olahraga.
Ini untuk kali perdana dia bertamu ke rumah. Saya ingin tahu rumah Mas Tommy, dia bilang begitu. Ini pun istimewa karena tak biasanya dia menyamperi kliennya. Naga-naganya, pundi-pundi Tom harus rela mengempis. Tarif VIP. Tak apalah. Toh, kedatangannya ke sini sebagai ajang konsultasi intensif.
"Mas Tommy biasa pulang jam berapa?" Dia mendahulukan perbincangan.
"Akibat macet, ya sekitar jam 7 sampai jam 8, Mas."
Gelasnya diletakkan di tatakan. Kroket hangat yang terhidang ia cicipi dengan sukacita. Gerak-geriknya teratur. Tiap zat yang masuk ke lambungnya dimulakan dengan komat-kamit atau berdoa.
"Mas Luki, apa benar roh Andrew yang membunuh Marisa?" Bibirnya yang berminyak diseka tisu, lalu dia, "Hmm... terus siapa yang membunuh Andrew?"
Aku tak sanggup menjawab. Itu sindiran.
"Lantas apa kaitannya antara kematian Marisa, lompatan ruang ke hutan, dan kalimat misterius itu, Mas?" Rasa penasaran melontarkan setumpuk pertanyaan.
"Ada pesan yang ingin disampaikan. Dia punya unfinished business denganmu." Telunjuknya mengarah ke muka orientalku. Ia tersenyum dua lapis; menyejukkan dan mencemaskan.
"Jangan takut. Dia hanya jin yang menyerap memori dan energi Andrew sewaktu masih hidup. Untuk melatih keberanian spiritual, bagaimana jika kamu yang menghadapinya?" Mas Luki menyodorkan opsi yang lumayan frontal.
"Menghadapinya? Nggak." Mengkerutlah aku.
Rambutku dibelai. Dipetik. Rautnya serius. Sehelainya direntangkan dengan kedua pasang jarinya. Ditekankan ke bibir cangkir. Terbelah sempurna. Rambut itu seperti sembilu mengiris tahu. Aku terpana. Ludah kutelan sembunyi-sembunyi.
"Rambutmu saja punya kekuatan. Masa jantungmu tidak tidak."
"Tapi, Mas...." Aku keberatan. Takut.
"Saya akan menjagamu dari belakang."
**
Aku dan Tom berbagi tugas. Tom bernegosiasi dengan adiknya Andrew, Jonathan, supaya aku bisa masuk; menyelundup ke kamar tidurnya tanpa mengetuk pintu mengucap salam pada nyonya besar pemilik rumah. Wanita tua itu sungguh membenciku. Kebencian akut.
Segala sesaji kupersiapkan; kemenyan, dupa, dan bunga tujuh rupa. Klenik. Makanan makhluk gaib. Pancingan. Undangan. Oh... mengerikan.
“Tom, xian zai wo zhen de hen pa. (现在我真的很怕) [3]” Aku merengek padanya. Dia mengantarku.
“Ni fang sin, wo gen ni yi qi. (你放心, 我跟你一起) [4]”
Keluar dari mobil angin dingin menampar kulitku. Kegelapan memeluk. Lamat-lamat terdengar rintih punguk. Terlihat seekor cerpelai merangkak di atap rumah. Aku menoleh ke Tom. Senyumannya sejuk.
Jonathan melambaikan aba-aba. Komandonya kuturuti. Lewat pintu alternatif. Jalan tikus cukup mulus.
"Jo, terima kasih ya."
"Nggak papa, kok." Parasnya mirip Andrew. Suaranya teduh. Ramah.
Daun pintu kutekuk. Berderit. Engselnya kurang pelumas. Lampu benderang di kamarnya. Jo pamit meninggalkanku. Apakah Andrew masih sering menangis di ruangan ini? Di mana dia menghamburkan malam semasa hidupnya. Letih dan perihnya dibaringkan di kasur. Denting dawai gitar, melagukan syair masa depan yang sudah terkapar.
Terang kupadamkan. Terbakarlah dupa dan kemenyan. Di pinggir gelisahku membumbung aroma kembang-kembang tujuh rupa. Gelap kian genap. Aku duduk bersandar di ranjang. Seribu lima ratus detik berjalan merintik. Suhu ruangan naik. Seperti ada pergerakan. Halus. Meringkus keberanian.
Pesan apa yang hendak disampaikan jin itu? Perihal apa? Urusan apa yang belum selesai antara aku dan Andrew? Kesepiankah dia di sana? Mungkinkah nyawaku akan ditarik untuk menemaninya bercanda di taman firdaus? Pelbagai tanda tanya kusebarkan di kepala sebagai strategi pengusir rasa ngeri.
Lalu.... Ada lenguhan napas panjang. Apakah jin bernapas? Bagaimanapun itu, dia benar-benar nongol ke arahku. Aku memejamkan mata.
"Stefani." Memanggil. Aku meriang. Kulitku serasa menebal. Napasku menjadi berat. Menghadapi makhluk gaib adalah hal paling konyol. Jangankan muka ke muka, mendengar cekikikannya saja bikin aku lari pontang-panting. Merapal ayat dalam Al Kitab untuk menghalau hantu biadab.
Tetapi... misi ini akan amburadul apabila aku mundur; menutup mata. Dengan doa-doa yang kuucapkan pelan--tentu tidak khusyuk--kuberanikan membuka penglihatan. Meledakkan cangkang-cangkang fobia yang memenjara.
Tidak ada. Hilang. Tak ada apa-apa. Hening. Kuatur pernapasan. Kuselaraskan emosi.
Ya Tuhan! Dia duduk di sampingku. Di tepi kasur, membelakangiku. Berjas. Alamak... bagaimana struktur mukanya kalau dia menoleh. Pasti berdarah, rusak-hancur, atau mungkin dikerubungi belatung montok? Aih....
"Andrew...." Ah, tak kuduga, aku berani juga memanggilnya balik, walau keringat sudah kuyup melembabkan baju.
Dia menengok. Menatapku. Tak ada darah dan belatung. Pucat membiru. Cembung matanya tampak cekung menampung bahasa nan sinis. Runcing. Tenagaku terkuras saat duduk berdampingan dengan makhluk ini. Dunia kami yang berbeda serasa berat bertemu pada frekuensi yang sama--disamakan.
"Aku menyayangimu. Jangan tinggalkan aku." Dia berbicara lagi. Suaranya timbul mengambang antara gelap dan terang. Aku paham suara hati Andrew. Air mataku meleleh membasahi isak penyesalan. Kucampakkan dia saat tersungkur bersimbah lumpur.
"Maafkan aku, sayang." Aku sesenggukan melisankan permohonan itu. Untukmu Andrew. Untuk kekasihku yang tak kuat bertahan tanpaku. Maafkanlah kekasihmu yang durjana ini. Bawalah maafku dan ketulusanmu ke alammu yang damai dan abadi.
Sesaat sebelum sosok itu raib dariku, ia mengujarkan pesan. Laci. Ya, dia menyebut kata itu. Aku bergegas menuju laci susun empat di samping rak sepatu. Leburlah ketegangan. Menetral. Terang. Inspeksiku berhasil. Sekotak tempat perhiasan kalung dari beludru merah. Ternyata ini. Aku mengusapnya.
"Kado untuk Stefani", itulah tulisan yang tertera di kotak. Tergores mungil dari spidol biru. Aku terharu biru ketika tahu Andrew akan menghadiahi kado ini sebelum jiwanya pergi.
Namun barang ini gagal terberi dari tangan pangeran ke tangan permaisuri. Kado valentine tahun lalu putus oleh tragedi klise. Mengendap lebih dari lima puluh minggu dengan pesan yang termangu.
Trenyuh. Tersentuh. Kembali ke masa lalu melihat rembulan yang sudah berdebu. Pandangan menyapu. Tapi ternyata... kosong.
Di mana seuntai kalung itu?
[3] Tom, aku sungguh takut dengan semua ini.
[4] Jangan takut, ada aku di sampingmu.
Bersambung…
Jakarta, 2-17 Februari 2012
Komentar