119. Hujan Batu
Hujan batu yang berselerak bergemuruh geledek di dadaku
Tombak malaikat maut menghujam dada-dada kalian
Fosil-fosil itu telah membatu, mengeras menggigil oleh suhu waktu
Rau sarau!
Tak ada ruang berwaktu
Rintihan aku dan kamu takkan pernah menjuarai desau angin
Lantas apa yang kau kehendaki jikalau kepalamu harus tertunduk siku
Bacalah sabda itu
Tulisan kursif itu buatmu merasa apa?
Aku tak bisa merasa, hanya membeda: benar atau salah
Kolt mereka tergigit di mulut suci mereka yang getol berzikir saban pagi hingga malam, dari hati sampai gigi mereka keram
Aku meyerah saja, sayang…
Kau mau apa? Kok kepala batu sih!
Aku ingin mabuk dan mengawang-awang
Wow, indahnya kiswah di negeri Arab itu
Aku hendak ke sana dan belajar jadi kaum munafik yang kerap alpa bermuhasabah
Ngomong-ngomong muhasabah, di mana ya kuletakkan syahwatku saat hujan batu turun di kampung tetanggaku?
Kirjah dosa dosa kirjah
Kau takut akan dosa, cinta…
Bukankah itu indah sekali, maduku…
Pak ustad kami yang berjenggot , tampan, lulusan negeri Piramid, bergamis dan berpeci saat di masjid pernah bilang: dosa adalah ibu kandung kesengsaraan dan pemutus rahmat
Magrib itu kami bergetar sampai muka kami berpelukan dan terisak sesenggukan
Kau menelan air mataku nan rasa umami
Kami pun terbahak lagi tatkala menonton kethoprak di Taman Ismail Marzuki
Kau telah pergi…
Keparat! Kirbatku tertinggal di rumah roti keju itu
Jangan menoleh ke belakang dengan cinta, sayang…
Aku baru saja pulang dari masjid pak ustad itu sesaat setelah kalian berdua ditandu
Jubah tegarummu berkibar oleh sepoi doa dan restu
Tak perlu menengok diriku
Aku tengah payah menggendong anak kandung yang lampau ibunya sering kami tiduri
Diary “Be a calm man”. 22-07-2011
Komentar