111. Mengintip Buku Harianku (Part 2) Cerpen Bocah Ingusan
Waktu saya mengobrak-abrik buku-buku lama, tanpa sengaja menemukan buku harian tahun 2004. Ini buku harian cowok, jadi bayangkanlah isinya berupa catatan-catatan nggak penting, gambar-gambar jorok, dan cerpen-cerpen norak. Salah satunya cerpen ini, dan saya nyengar-nyengir saat membacanya. Betapa sungguh menjijikkan cerpen ini! Bacalah pelan-pelan dan cermati, lalu beri nilai.
**JIKA PUTUS CINTA, SAYA CUKUP MENANGIS DUA KALI SAJA. PERTAMA EMPAT TETES, KEDUA DUA TETES**
Oleh Sudarmanto Syaukanie alias Abu Waswas
The Reason-nya Hoobstank mengentak keras ke seluruh lorong rumah. Hari ini Efan tak ke sekolah, sakit alasannya. Dia mau bicara ke Diza, namun HP-nya off. Diza lagi sibuk belajar di kelas. Efan hanya meninggalkan pesan. Kemudian ia salin pakaian, meluncurkan motornya ke CITOS (Cilandak Town Square).
Diza tak ingkar janji. Usai pelajaran terakhir, taksi menggondolnya ke tempat di mana pujaan hatinya menunggu. Sesudah makan siang, Diza memulai obrolan.
"Ada apa, Tembem? Penting ya."
"Hmm, aku pengen bilang...."
"Iya, apa?"
Dada Efan berdebar kencang. Tak tega memutuskan benang cinta Diza yang tulus.
"Begini, kita kan udah jadian dua tahun...."
"So what gitu loh?"
"And so, kita putus aja sampai di sini."
Diza semakin heran, hatinya hancur. Cintanya yang tulus dan penuh pengorbanan hanya dibalas setengah hati. Ia tak perlu penjabaran panjang, hanya membalas satu kalimat. "Ya udah, kalo itu maumu," air matanya nyaris pecah. "Tapi Diz, sebentar lagi kan aku kuliah di Bandung. Jadi mending kita selesai aja," dalihnya. Lantas, apakah cinta hanya dibatasi oleh jarak? Katanya samudra kan kuseberangi, tujuh benua kan kujelajahi, Everest kan kudaki. Namun, baru Jakarta-Bandung, asmara harus disudahi. Dan Diza makin mantap hatinya bahwa cinta Efan tak seberapa.
Diza mencegat bus metromini, naik dan duduk di kursi keras. Biasanya dia lebih suka taksi daripada bus ugal-ugalan itu. Mungkin mood-nya lagi amburadul, jadi salah pilih kendaraan.
Diza merenung, mengapa tiap pria yang dicintainya kerap mencampakkannya. Todi, Adjie, Yusuf, Komang, Slamet, dan terakhir Efan adalah sederet laki-laki yang kudu dibersihkan dari otaknya. Ia pun ketiduran, tak mandi, tak makan, tak minum susu pelangsing, dan berniat bolos esok. Tentu ibunya cemas, sepulang sekolah tak keluar kamar.
"Diza, ayo dahar, Neng (ayo makan, Nak)," ibunya mengetuk-ngetuk daun pintu.
"Dahar naon, Bu? (makan apa, Bu)," ia terbangun.
"Tempe mendoan."
"Tempe deyi-tempe deyi (tempe lagi)."
"Wayana, atuh (seadanya, dong)."
"Ya udah."
"Cepat. Dahar di meja apa di diye? (makan di meja atau di sini)."
"Hatur nuhun, Bu (thank you, Mom). Nanti aku ambil."
*************************************************************
Si jengger merah menyambut fajar. Jam berdering 5 tepat. Usai salat subuh, Diza ke kamar mandi. Niat bolosnya diurungkan. Ia menghirup pagi dengan sukacita, seakan amnesia. Toh, ia tak kaget lagi kalau mesti dikecewakan oleh makhluk berjakun itu.
Sahabat-sahabatnya menyambut gegap gempita kehadirannya.
"Helooo, semangka bangka (semangat banget), nek," Meri menyapanya hangat.
"Apanya yang semangka, lagi binetine begindang (bete begini)."
"Tampanglu ceria gitu."
"Emangnya gue Daihatsu."
"Ayo donk, ceritain. Akika mawar tahta (aku mau tahu), nich," Nadya mau tahu saja.
"Cerita apa, sich?"
"Bukannya elu ke CITOS sama Efan ganteng itu. Ngapain, bo," tukas Meri.
"DIA MUTUSIN GUE!!!" Diza teriak.
"KYAAA...!!!" Meri dan Nadya berteriak serentak, kompak, tak perlu aba-aba.
"Alaska-nya? (alasannya)."
"Ntar gue ceritain di kelas."
Bel masuk pun ikut-ikutan berteriak. Pak Rully, guru bahasa Inggris yang buncit dan bau jigong itu, keluar dari ruangannya. Setelah berdoa menurut agamanya masing-masing, lalu mengucapkan salam, Pak Rully memulai materi.
"Murid-muridku, apa bahasa Inggrisnya 'nasi panjang'?"
"Long rice, Pak," Ronald Tjong, sang jawara kelas, dengan cekatan menjawab.
"Salah, tuch. Jawabannya, 'long-tong'," Yoshua, siswa asal Jayapura, berkelakar.
"Ha-ha-ha...." Murid-murid seisi laboratorium bahasa tertawa cekikikan. Suasana menjadi riuh rendah.
"Yeah, aku suka, lho, yang panjang-panjang," suara cempreng Meri meredam kegaduhan.
Semua mata tertumbuk ke Meri dengan tatapan aneh, sebagian cowok memandangnya dengan tatapan binal. Wajah Meri tampak merah padam, lalu berubah menjadi pucat pasi. Ruangan lab menjadi hening.
"...."
"...."
*****************************************************************
Sepulang sekolah, dari rumah masing-masing, mereka keluyuran ke EX Plaza Indonesia. Diza, Meri, dan Nadya ingin menyaksikan film Shrek 2. Sembari menanti film diputar, Diza dan Meri ngobrol-ngobrol, sementara Nadya membeli jagung pop.
"Meri, kulitlu koq makin mulus dan cerah aja, dech. Rahasianya apa?" Diza heran.
"Kan aku pake lulur kocok mustika raja."
"Lulur kocok? Akika takara (aku takut) ngebayangin yang dikocok-kocok. Soalnya gue pernah makan mi kocok sama Slamet di pinggir jalan, eh ditabrak mobla (mobil)."
"Ha-ha-ha, kenangan romantis sama mantan, ya. Terus gue juga minum teh hijau cap kepala botak."
"Masya Allah, koq mereknya aneh-aneh, sich? Beli di mandra? (di mana)."
"Ada, dech. Kalo lu datang ke acara Natal gue, bakal gue kasih parsel, isinya produk kecantikan. Mawar tinta? (mau tidak)."
"Hmm, tapi gue makarena (makan) daging ayam aja, ya."
"Gak boleh. Lu harus makan babi hong (tumis daging babi), ha-ha-ha."
"Ah, bercanda, kan. Ntar gue kasih baju Lebaran gue yang belum dipakai. Barteran, yuk."
"Asyik...."
"Gue malas pakai tuch baju. Dari Efan, sich."
"No matter. Give it to me, ha-ha-ha...."
"Ya Allah, lu senang banget. Ketawa mulu."
"Gue teringat ayat di Injil (Mazmur): 'Tawa itu seperti burung yang terluput dari jerat penangkap, dan burung itu menjadi lepas bebas'."
"Oh, ya...?"
"Iya donk. Makanya lu ketawa, jangan loyo gitu, cemberut mulu. Baru putus cinta. Gimana kalau bonyoklu (orangtuamu) yang meninggal?"
"Suster, thanks for your advice."
"Not at all."
Sekonyong-konyong Nadya memotong percakapan karena ia melihat ada seorang cowok yang ia kenal bergandengan dengan seorang cewek yang singset dan putih. Beda dengan Diza yang gendut dan berkulit gelap.
"Eh Diz, itu kan Efan. Sama siapa, tuch?" Nadya meyakinkan.
"Gak tahu, ah. Gue mawar pulsa! (mau pulang)."
"Lho kok, L-H-O-K-O-K, terus gak jadi nonton?"
"Ih... gitu aja ngambang (ngambek). Efan kan bukan siapa-siapa lagi. Masih banyak cowok guanteng di dunia indang (ini), bo. Zamannya emansipasi, tunjukkan kalo cewek itu kuat!" Meri berapi-api.
"Kuat itu kan yang ada di gigi," Nadya main plesetan.
"ITU KAWAT!" Meri menimpali kegaringannya.
"Iya, betul kata Meri. Lagian sayang kan tiketnya mahligai (mahal). Gue bela-belain gak beli soptek, pake daun pisang aja, dech." Nadya mencoba menghibur dengan keluhannya.
"Jangan daun pisang, tapi daun bambu!" Diza kali ini bersemangat.
"Ah... ntar 'anu'-ku gatal."
"Daun sirih aja, biar kesat," gurau Meri genit.
Akhirnya mereka terbahak-bahak dan berpelukan mesra layaknya Teletubbies. Oh, so sweet. Memang, sahabat adalah obat.
Ini Sabtu malam pertama di mana Diza menghabiskan malamnya bersama dua sahabatnya. Sebelumnya ia memilih kencan dengan Efan Simanungkalit. Pukul 8 malam, burung biru berhenti di depan rumah. Setelah bayar ongkos taksi, Diza mengibrit ke kamarnya. Radio dihidupkan, berfrekuensi 102.2 Mhz. Malam ini Imam Wibowo siaran dari ujung Mendut sana, membawakan program MUFI (musik & film).
"102.2 FM Prambors rasi sonia. Kawula Muda, masih sama gue, Imam Wibowo, di Prambors MUFI, musik dan film. Masih sisa satu jam lagi ngebahas film-film bertema unhappy ending dan soundtrack-nya bla-bla-bla.... Lagu selanjutnya dari film Titanic, dan gue mau muntah kalo dengar lagu ini. Ya udah, ini dia Celine Dion, My heart will go on. Stay tune."
"Pas banget tuch, sama nasib percintaan gue, selalu unhappy ending," Diza mengoceh sendirian.
Soundtrack-soundtrack dari film (tema) unhappy ending memang cukup menyayat-nyayat, apalagi dibawakan dengan penuh emosi. Maka hatinya makin hanyut dalam lara, dan ia pun menangis.
Dalam tangisnya, ia teringat sepenggal syair dari seorang pujangga asal Lebanon, Kahlil Gibran: "Cinta adalah sesuatu yang benar dan pasti. Tapi jangan percaya itu. Berbahagialah Anda bila tak percaya akan cinta. Walaupun penyesalan terbesar adalah orang-orang yang tak pernah mencintai dan dicintai." Oh....
Jakarta, November 2004
Disunting dari buku harian berjudul "Who am I?"
Gimana cerpennya, norak, kan? Maklum, yang bikin bocah ingusan (saat itu 17 tahun) yang buta sastra.
Kalau kalian punya cerpen, bagi-bagi, donk.
Komentar