91. Jengkolan
Hari ini saya dengar orang menangis histeris. Tak jelas, apakah anak-anak atau orang dewasa yang nangis. Tangisannya samar-samar, sebab kami terpaut dua rumah. Bernyanyi, "Sesungguhnya aku punya rencana. Beli rumah yang sangat sederhana sekali.RSSS." Kalau rumah saya tipe RSSS..., yaitu rumah yang sangat sederhana sekali, sempit, sampai selonjoran saja susah. He-he-he...bercanda.
Saya penasaran, lalu tanya ke papi, "Pi, siapa yang nangis?" Jawabnya, "Bang Sahrul. Dia gak bisa kencing." O iya, saya teringat kalau tadi malam papi cerita bahwa Sahrul kesulitan kencing. Ayo, tebak, kenapa dia gak bisa kencing? Dia "jengkolan"! Apa tuh jengkolan? Itu istilah dari efek kebanyakan mengonsumsi jengkol. Wah, jengkol? Itu makanan kesukaanku setelah tempe. Bayangkan sobatku, ia beli 2 kg jengkol....Kalau saya ngidam jengkol, paling-paling beli Rp 3.000 di warteg. Harga segitu dapat enam buah, yang mana itu hanya tiga butir jika mentah. Mahal ya, bo. Habis makan jengkol, gak bisa ciuman dech.
Dia, Sahrul, perawakannya gendut dan tinggi. Hmm, lucu juga kalau orang setipe dia menangis hanya karena tak bisa kencing. Lagipula bisa kencing bukan hal sepele, itu adalah rahmat. Seorang preman Pasar Senen pun bisa nangis kalau gak bisa kentut. Jadi, kentut yang bau dan bunyinya kurang sopan itu, juga termasuk rahmat.
Mbok ya, kalau ke rumah sakit alasannya yang keren. Misal, serangan jantung sebab gak terpilih jadi presiden/anggota legislatif. Atau gak bisa kencing sebab selingkuh mulu. Ini, ke rumah sakit sebab gak bisa kencing, kebanyakan makan jengkol penyebabnya.
From my diary, "Sang Pemberontak". Tanggal 2 Oktober 2009
Kalau Anda perhatikan, kisah ini kocak banget. Minimal Anda tersenyum. Kalau tidak tersenyum juga, wah...hidup Anda serius banget. Dan, jengkol bukanlah faktor tunggal penyebab "tak bisa kencing".
Komentar