241. Memukul Kok, Menangkis Batasan [Susi Susanti Love All]
“Yang membuat kita menjadi kuat karena kita punya lawan yang kuat.”
Susi kecil mengidolakan Rudy Hartono, legenda bulu tangkis yang delapan kali menjuarai All England. Tapi ayah Susi yang juga pebulu tangkis level PON menagih emas Olimpiade pada anaknya. Padahal mestinya cita-cita Susi adalah All England yang lebih prestisius. Mungkin dia sudah melihat masa depan, kalau di All England 1992 cuma masuk 16 besar, kalah dari pemain Tiongkok. Apa karena tahun 1992 cabang badminton debut masuk Olimpiade di Barcelona? Ah sudahlah.
Potensi sakral yang seharusnya cerlang di film Susi Susanti Love All adalah momen mengharukan pertandingan final di Olimpiade Barcelona (karena itulah momen paling monumental bagaimana Susi dikenal) dan kebijakan rasisme Soeharto dengan SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia). Sayangnya keduanya melempem. Momen emas Barcelona kalah sama adegan tanding Sudirman Cup yang lebih dramatis dan filmis dan rasanya kayak nonton pertandingan lawas yang direka ulang.
Sementara isu rasisme SBKRI sebagai buntut pemberangusan komunisme China terlihat sambil lalu. Pelatih Sia dan Tong hanya jadi jembatan narasi untuk Susi Susanti yang SBKRI-nya belum keluar. Ada elemen yang lalai dalam drama olahraga umumnya: relasi pelatih dan pemain. Pelatih Sia dan Susi Susanti tidak menyublim alami dan meyakinkan sebagai dua individu dan satu entitas etnis yang merasa dipercundangi bangsa kelahirannya sendiri. Mereka senasib sepenanggungan, tapi drama dua manusia itu kalah porsi dengan romansa Ahong atau Alan Budikusuma dan Susi Susanti. Tapi porsi romansa Alan-Susi sebenarnya juga pas dan tidak merampok elemen lain. Sedihnya, posisi Alan ini jadi lembek saat nongol frasa pengantin Olimpiade. Bahkan adegan tanding dia dengan Wiranata di final, yang mana lawannya dari negara sendiri, serasa main-main akting lapangannya (bermain badminton-nya).
Meski sudah ditulis di web Historia tentang penyimpangan fakta biografi Susi Susanti, okelah, bisa dimaafkan. Ada hal yang perlu disederhanakan dan perlu dikarang.
Sinematografinya indah, ada nuansa sepia, kontemplatif, dan retro. Bus jurusan Tasik-Jakarta terlihat butut bukan klasik. Beda ya, klasik dan butut. Untuk ukuran 80an, masih banyak kok bus yang lebih bagus. Saat itu rasisme dan diskriminasi etnis mendarah secara struktural dan sosial. Negara memperlakukan etnis China dan India sebagai warga kelas dua. Masyarakat, sebagian, juga sering berkata yang melecehkan ke etnis minoritas. Terlebih sampai puncak paling kelam ambruknya orde baru.
Susi Susanti Love All (love all arti teknisnya 0-0) merupakan film biografi mungil dengan isu besar yang dikemas minimalis apalagi durasi 90an menit saja. Ada drama-drama manusia yang kurang berhasil dibingkai dalam satu film. Ada emosi-emosi yang dibiarkan meletup bahkan sebelum benar-benar mengembang.
Tidak terlalu buruk, hanya minimalis.
Komentar