123. Takbir dari Hati
Cerita Mini (cermin) karya Abu Waswas ^_^
Takbir dari Hati
Argha sudah melihat Lebaran Haji di ambang pintu. Ia membuka pintunya dan keluar mendongak ke hamparan langit nan bersih. Rembulan tanggal 7 sudah merayap ke puncak zenit. Pertanda tiga hari lagi takbir Idul Adha 10 Zulhijah bergemuruh di langit teduh. Juga kulit bedug akan bergetar beresonansi sebab dihantam kayu-kayu lonjong dari jiwa-jiwa yang menyongsong.
Segala hiruk-pikuk Idul Qurban membikin hatinya resah. Bagaimana tidak. Ia ingin sekali membeli seekor hewan qurban dari harta jerih payahnya barang sekali setahun. Ia pun kudu gigit bibir demi menumpuk keping per keping selama setahun ke belakang agar bisa menuntun kambing tahun ini. Namun suratan berkata lain. Ibunya yang di kampung mendadak sakit bulan lalu. Maka bangkrutlah dia. Pupuslah rencana yang tulus dan indah.
*
"Argha, coba kamu tengok hewan qurban di belakang masjid." Ustad Ramzi, seorang imam masjid, memerintahkannya untuk memeriksa para dorbia pada malam itu.
Yang disuruh patuh dan memastikan jumlah hewan qurban malam ini tidak berkurang dicolong begal.
"Siji, loro, telu, papat, limo," hitungnya, telunjuknya mengarah ke para ternak. Empat kambing dan seekor domba gemuk. Tanpa seekor sapi pun. Ia termangu. Mana cukup hanya lima ternak ini untuk dibagikan ke ratusan duafa. Butuh paling tidak seekor sapi supaya mereka terbagi rata dan bisa kenyang terpenuhi gizinya. Maka galaulah si Argha. Apalagi ia tak mampu memberi barang seekor. Ia merasa terajam kerikil dosa lantaran hal itu. Genangan air matanya luber. Ringkihan cempreng kambing menjaga dirinya dari sengkarut kegalauan. Disekanya lelehan cairan yang keluar dari matanya.
*
Saat hendak shalat magrib, ia melihat rumah keluarga besar Pak Bambang riuh dan sibuk. Ia tahu sedang ada pesta ulang tahun anak bungsunya. Memang keempat anaknya masih saja tinggal satu atap walau sudah mapan dan dua di antaranya telah menikah.
Yang jelas semua warga mengenal keluarga Pak Bambang pelit serta medit. Hidupnya bermewah-mewah. Desas-desusnya, bulan lalu anak sulungnya, Prio, membeli Toyota Harrier. Fardhan, anak kedua, yang baru kawin, berbulan madu ke Perancis. Nita, anak perempuan satu-satunya, baru saja operasi plastik supaya parasnya cantik jelita bagai Megan Fox. Dan kini si bungsu, Ben, merayakan miladnya yang superglamor. Sayang ia tak diundang. Mungkin jika diundang ia tak mampu beri kado yang prospektif.
Usai magriban, Argha dapat ide cemerlang habis memantau keluarga Bambang. Dia ingin agar mereka legowo berkurban sapi dan menitipkannya di masjid ini. Paling tidak mereka urunan beli seekor sapi.
"Hai kalian, bentar lagi akan ada sapi di sini. Doakan saja!" Ia teriak ke para ternak, yang lantas mengembik bersama laksana bilang "aamiin".
Tak ada lagi galau. Ia mendekati imam masjid di ruangannya. Ia menggenggam seuntai harapan. Segalanya terasa ringan.
"Pak Ustad Ramzi, ane ada ide nih biar masjid ini bisa dipercaya untuk dititipkan sapi,” ujar dia dengan raut menyala-nyala.
"Siapa yang mau menitipkan untuk kami kelola?"
"Keluarga Pak Bambang."
Pak Ustad langsung pening bak tertimpuk telur kalkun. Namun ia menghargai pendapat Argha dan mau berdiskusi dengannya.
*
Usai shalat isya berjamaah, ia langsung ke rumah Bambang Family untuk melancarkan misinya. Dengan tiga lembar kupon bercap tinta biru nama masjid An Nur, ia ingin menyindir keluarga besar tersebut.
"Assalamu'alaikum." Salam mengarah ke Prio yang tengah meraba Harrier terbarunya.
"Wa'alaikumsalam."
Ia masuk mendekat dan menyapa Maya, putri kecilnya Prio, yang sedang anteng di dalam mobil papanya yang masih gres.
"Ada apa, Gha?"
“Begini Mas Prio, saya ingin membagikan kupon pengambilan daging hewan qurban di Masjid An Nur.”
“Lho?” Prio tercekat dan melipat-lipat jidat.
“Ini, Mas.” Ia mengangsurkan tiga lembar kupon yang masih hangat baru dicetak.
“Saya tidak pantas nerima ini, Gha,” tolaknya. Argha menarik lagi tangannya. Mukanya layu.
“Tapi semua duafa sudah kebagian, dan ini lebih tiga lembar untuk Mas Prio sekeluarga,” kelitnya, memasang wajah melas.
“Yakin semua duafa dapat cukup? Berapa jumlah hewan qurban di An Nur?” Ia menyelidik. Nada bicaranya mulai empuk dan sejuk.
Argha merasa sudah menggenggam buntut. Seulas senyum terukir di bibirnya.
“Empat kambing dan seekor domba, Mas. Gemuk-gemuk, lho, hehehehe….”
Prio terbungkam sejenak, merasa tak enak, dan nuraninya berteriak.
“Berapa nomor ponselmu?”
*
I’m your biggest fan
I’ll follow you until you love me
Papa-paparazzi
Baby there’s no other superstar
You know that I’ll be your
Papa-paparazzi
Ia lompat meraih ponselnya yang berdering berulang. HAP! Dari Mas Prio rupanya. Tombol hijau ditekannya.
“Assalamu’alaikum, Argha.”
“Wa’alaikumsalam, Mas Prio.”
“Kamu tahu gak berapa harga sapi di tempat Pak Jumianto?”
“Pak Jumianto jual sapi yang beratnya 300 kg seharga 11 juta, Mas.”
“Oh, gitu. Sepulang kamu kerja temani saya ya ke sana.”
“Baik, Mas!”
Argha bersorak berjingkrak. Ia gembira dengan rencana penyindirannya yang sukses. Ya, penyindiran, bukan pemaksaan. Sebab ibadah berkurban datang dari hati yang tulus.
*
Usai shalat Id, ia mengelus-elus punggung sapi yang siap disembelih. Gema takbir berkumandang dari penjuru bumi. Golok dan pisau mengkilat yang baru diasah seakan tak sabar memuncratkan darah segar.
Sebagai salah satu panitia penyembelihan dan penyaluran hewan qurban 1432 H, tentu Argha sibuk. Kontras dengan Prio yang cuma memotret dan merekam gambar hidup. Tampak pula Ben membawa makanan dari rumahnya untuk konsumsi para panitia.
Penyembelihan perdana, seekor domba gemuk digiring Argha ke tukang jagal berpeci miring. Setelah diikat, ia dan Ben menahan pemberontakan si domba. Penjagal komat-kamit merapal doa, lantas melukai kulit leher domba hingga darah muncrat mengucur ke lubang tanah.
Allaahu akbar.. Allaahu akbar.. Allaahu akbar.....
Laa - ilaaha - illallaahu wallaahu akbar.
Allaahu akbar walillaahil - hamd.
Jakarta, 4 November 2011
$$$
Komentar