110. Bagai Sang Surya Menyinari Dunia
Saya begitu mudah menganyam kata-kata untuk syair puisi dan lirik lagu bagi sang pujaan hati. Namun, hal itu menjadi sulit jikalau harus kutuliskan bagi Enyak-Babe.
Satu jam sangatlah panjang tatkala bercengkerema dengan Ayah-Bunda. Dan tak terasa sudah tiga jam kongko-kongko ngalor-ngidul bareng kawan-kawan atau kekasih.
Murahnya kata maaf dan sayang bila dilisankan ke sobat atau sang pacar. Oh, alangkah gengsinya pabila kudu diujarkan ke Abah-Emak.
Ah, Bapake-Mboke...
Tak semenit pun kalian memaksaku untuk hadir menemanimu tiap malam, juga akhir pekan. Tak sedolar pun kalian menjarah uangku.
Dan tak pernah sanggup kubayar impas air susumu, Mami. Tak mampu pula kuganti peluhmu, Papi. Lantas saat saya akan menikah, tentu akan kuhabiskan sisa usiaku untuk istriku. Kau pun menghirup kesepian dan menanti kunjunganku saban minggu, saban bulan, atau bahkan cuma sekali setahun kala mudik.
Kelak akan kudapati kabar tentang kematianmu di sela-sela kesibukanku. Kusambangi jenazahmu dengan lelehan air mataku. Hingga suatu waktu cucu-cucumu melakukan hal yang sama seperti yang dulu kulakukan padamu. Begitu terus, berputar ulang. Tunduk pada singkatnya siklus kehidupan.
Adakah cinta yang abadi, Allah?
Komentar